Pengalaman Seru Mengikuti Walking Tour Gratis di Kota Tua Jakarta

Posted on

Walking tour gratis di Kota Tua Jakarta bukan sekadar jalan-jalan biasa. Didampingi oleh pemandu, banyak fakta yang tersembunyi di balik bangunan-bangunan lawas itu terkuak, dari cerita trem kuda hingga asal-usul meriam Si Jagur.

Para peserta, termasuk infoTravel berulang kali kompak bergumam,”Oh gitu…”.

Kalimat itu auto meluncur saat Arif, tour guide yang mendampingi rombongan tur ‘Oud Batavia En Omstreken: Then & Now’ pada hari Selasa (22/4/2025) berkeliling Kota Tua di Jakarta Barat.

Kami diajak berkeliling kawasan Kota Tua yang dimulai dengan penjelasan keberadaan Museum Keramik dan Seni Rupa, lalu berlanjut ke Gedung Kantor Pos. Setelah itu kami bergeser ke jalur trem.

“Dulu kita ada jalur trem lho di tahun 1869. Awalnya trem ini ditarik dengan kuda. Lalu semakin berkembangnya teknologi kemudian beralih ke tenaga uap. Dan juga tidak sembarangan orang bisa naik trem ini,” kata Arif kepada kami bertiga, peserta tur gratis Kota Tua.

Sisa jalur trem ini ditutup dengan lapisan kaca hingga kita tidak bisa menyentuhnya. Namun, jalurnya persis berhadapan dengan bangunan Museum Fatahillah, yang dulunya adalah kantor pemerintahan atau gubernur.

Sama seperti jalur busway, dulunya jalur trem juga memiliki rute tersendiri. Jalur trem ini mulai dari ke pasar ikan (yang gerbangnya berada di dekat Museum Bahari saat ini), lalu ke Batavia, Glodok, sampai ke Harmon dan yang paling jauh ke Kampung Melayu.

“Dulu pembayarannya memakai gulden, tahun 1.800-an sudah ada mata uang,” kata Arif.

Namun, penggunaan trem tak berlangsung lama hanya sampai tahun 1933 saja. Karena semakin berkembangnya zaman, trem tak lagi dibangun.

“Soekarno juga tidak mau membangun kembali karena dia tak suka dengan hal-hal yang berbau era kolonial,” ujar Arif.

Kami pun bergeser beberapa langkah menuju meriam yang letaknya berada di depan jalur trem tersebut. Meriam yang juga bagian dari cagar budaya ini bernama Si Jagur.

Jika Kota Tua selalu berkaitan dengan Belanda, namun meriam ini adalah peninggalan Portugis. Dibuat tahun 1625 di Macau oleh pengrajin bernama Manuel Tavares Bocarro.

“Ini adalah mungkin senjata paling mutakhir di tahun tersebut atau di abad tersebut. Karena ini sebenarnya dibuat dari dari 16 canon-canon kecil atau meriam-meriam kecil yang dilebur menjadi satu. Setelah itu meriam ini dipindahkan ke Melaka, karena saat itu Melaka lebih berkembang dibandingkan Makau,” kata Arif.

Mengapa meriam ini bisa sampai di Jakarta atau Batavia? Arif menjelaskan bahwa saat Belanda itu melakukan perang ke Melaka melawan Portugis, yang di mana Belanda dibantu Kesultanan Johor. Belanda menang dan membawa meriam ini sebagai tropi kemenangan.

“Nah, karena kelamaan-kelamaan setiap setiap abad itu senjata dan teknologinya banyak berubah, canon ini akhirnya enggak terlalu terpakai dan mereka menaruhnya sembarangan,” ujar Arif.

Adapun yang menarik dari meriam ini adalah simbol jempol kejepit. Jika di Indonesia itu mengarah ke mesum, bagi penciptanya simbol ini artinya keberuntungan.

Arif selanjutnya mengajak kami melihat air mancur yang tepat berada di depan Gouveneurs Kantoor atau sekarang dikenal sebagai Museum Fatahillah. Di sana dia juga memaparkan bagaimana kehidupan dahulunya hingga suasana eksekusi dipertontonkan di sini.

Kami pun berlanjut ke Kali Besar yang dulu ya ternyata kawasan bisnis, atau sekarang dikenal dengan istilah CBD (Central Bussiness District). Dulu ada beberapa bank luar negeri, salah satunya adalah bank China.

“Di sini dulunya ada bank hingga gudang logistik untuk rempah-rempah,” kata Arif.

Nah, salah satu fakta menarik lainnya yang bisa traveler temukan di kawasan Kali Besar adalah tiang yang menunjukkan bagaimana penurunan tanah di Jakarta. Terlihat bagaimana jauhnya penurunan permukaan tanah di Jakarta sejak tahun 1974.

Perjalanan kami pun berlanjut ke arah Kafe Acaraki yang menyajikan jamu secara modern. Yang menarik di sini, di luar kafe, terdapat dinding yang batu batanya terbuka. Di beberapa batu bata terdapat simbol yang khas.

“Nah ukiran tersebut menandakan dari perusahaan mana. Kira-kira kenapa ya orang Belanda mau repot-repot membawa batu bata sejauh itu ke Indonesia? Jadi batu bata itu berfungsi sebagai pemberat kapal supaya tak oleng di laut,” ujar dia.

“Nanti batu bata itu juga akan digunakan untuk membangun kantor atau gedung di lokasi yang mereka tuju. Saat mereka kembali ke Belanda, batu bata itu diganti dengan rempah-rempah (yang menjadi pemberat kapal),” Arif mengisahkan.

Hari ini Jakarta sangat terik. Kami pun dipersilahkan istirahat sejenak di dalam Kafe Acaraki yang menghidangkan ragam olahan jamu. Salah satu menu best seller mereka adalah Kunyit Golden Sparkling.

“Itu adalah olahan kunyit yang dipadu dengan sparkling water buatan mereka sendiri. Di sini harga minumannya terjangkau kok, banyak pilihan,” kata Arif.

Setelah istirahat, kami pun lanjut berjalan ke arah Museum Indonesia. Arif menceritakan dulunya museum ini adalah bekas rumah sakit yang dialihfungsikan menjadi kantor perbankan.

Di penghujung walking tur kami pun berhenti di area jalan kaki yang berada di seberang Stasiun Jakarta Kota yang dulunya dikenal dengan nama Stasiun BEOS (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij).

Tidak terasa kami menikmati walking tur lebih dari 2 jam. Kami mengakhiri tur dengan berfoto bersama di depan Stasiun Jakarta Kota.

Berhubung saya adalah penyuka sejarah, semua cerita yang diterangkan oleh Arif sangat menarik dan informatif. Hal yang sama juga dirasakan oleh peserta lainnya, Naomi (17) dan MJ (17). Duo pelajar ini merasa puas karena mereka bisa mendapatkan pengetahuan yang tak diterangkan dalam pelajaran sekolah.

“Sekarang tuh ibaratnya kita belajar sejarah tapi di luar dan bisa interaksi gitu. Kalau di sekolah kan cuma bisa sebatas bertanya saja kan, jadi guru ku juga menyuruh untuk datang langsung saja ke sini,” ujar Naomi.

Selama walking tour, saya mengamati Naomi memang punya ketertarikan akan sejarah. Beberapa kali dia menambahkan beberapa informasi sejarah, yang membuat saya kagum dengan pengetahuannya. Dia pun juga mengiyakan suka sejarah dan banyak memiliki buku sejarah di rumahnya.

Dalam kesempatan yang sama, MJ bercerita jika dia punya ketertarikan akan bangunan-bangunan. Dia mengaku suka sekali mengamati gedung di manapun. Saat dia diajak ke Kota Tua oleh Naomi, dia senang sekali.

“Aku suka melihat gedung dan memperhatikan arsitekturnya. Menurut ku bangunan tua itu menarik, beda gitu sama yang lain,” kata MJ.

Duo Gen Z ini pun juga suka ke museum, terutama Naomi. Sebagai Gen Z, dia mengatakan bahwa banyak teman-temannya datang ke museum dan mereka gusar dengan museum yang begitu-begitu saja.

“Menurut teman-temanku museum itu membosankan dan gitu-gitu doang, cuma bisa melihat-lihat saja. Tapi beda tuh kalau museumnya ada aktivitas, misalnya di Museum Keramik kan ada kelas pottery nya tuh. Aku juga gitu, tergantung museumnya dulu. Misalnya Museum Nasional kan sekarang ramai tuh, juga ada immersive-nya,” kata Naomi.

Terkait walking tour, Naomi mendapatkan informasi melalui sosial media. Berhubung dia dan MJ sedang libur dan menunggu kelulusan sekolah, mereka mencari info kegiatan seru. Dan saat mengetahui adanya walking tour ini, mereka langsung mendaftar.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *