Kyoto merupakan kota bersejarah yang dikenal sebagai ikon musim gugur Jepang. Kini kota tersebut tengah menghadapi perubahan besar dalam lanskap pariwisatanya.
Di berbagai titik populer seperti Fushimi Inari Taisha, wisatawan mancanegara kini jauh melampaui jumlah wisatawan domestik, memunculkan kekhawatiran tentang overtourism dan masa depan kelayakan huni kota tersebut.
“Jarang sekali melihat pelanggan Jepang akhir-akhir ini,” ujar seorang pemilik toko di sekitar Fushimi Inari dilansir dari News on Japan, Senin (27/10/2025).
“Kita hampir tidak mendengar bahasa Jepang lagi. Menu di toko hampir seluruhnya berbahasa Inggris,” ungkap pemilik toko lainnya.
Kondisi serupa terjadi di berbagai objek wisata utama Kyoto. Saat Festival Jidai pada 26 Oktober lalu, penonton di sepanjang rute parade didominasi turis asing. Dari Arashiyama hingga Higashiyama, wajah-wajah wisatawan lokal kian jarang terlihat.
Data survei musim semi menunjukkan penurunan signifikan wisatawan domestik dibanding tahun sebelumnya. Di Higashiyama, jumlah wisatawan domestik turun 12%, sementara wisatawan asing melonjak 66%.
Arashiyama mengalami penurunan 20% untuk wisatawan domestik, namun kenaikan 22% terjadi untuk wisatawan mancanegara. Di Stasiun Kyoto, perbandingannya bahkan lebih ekstrem, wisatawan domestik turun 9%, sedangkan turis asing naik 72%.
Meski demikian, wisatawan domestik tak sepenuhnya menghilang. Mereka mulai beralih ke kawasan yang lebih tenang seperti Kyoto bagian utara, Takao, Fushimi, dan Yamashina, dengan kenaikan kunjungan antara 17 hingga 24%.
Tren tersebut sejalan dengan program ‘Decentralized Tourism’ yang digagas Asosiasi Pariwisata Kota Kyoto untuk mengalihkan arus wisata dari pusat kota ke enam kawasan pinggiran. Wilayah seperti Nishikyo dan Ohara kini dipromosikan sebagai alternatif yang menawarkan ketenangan alam.
Misalnya, Kuil Yoshimine-dera di Nishikyo menyajikan panorama kota dan bunga musiman, sementara jembatan di atas Sungai Katsura memperlihatkan keindahan sakura dan dedaunan musim gugur.
Salah satu destinasi yang direkomendasikan tahun ini adalah Kuil Jingo-ji di Takao, terkenal dengan sekitar 300 pohon maple yang mewarnai lembah Sungai Kiyotaki setiap November. Meski berjarak hampir satu jam perjalanan dari pusat kota, lokasinya yang sunyi justru menjadi daya tarik tersendiri.
Di sisi lain, warga Kyoto mulai menyuarakan keluhan terhadap dampak lonjakan wisatawan. Dalam survei terbaru pemerintah kota, masalah utama adalah padatnya bus umum yang juga digunakan warga untuk beraktivitas.
“Para turis memenuhi bus sejak pagi, dan para siswa tidak bisa sampai di sekolah tepat waktu,” kata seorang warga.
Keluhan lain meliputi antrean panjang di halte hingga perilaku turis yang melanggar batas properti pribadi demi berfoto.
Untuk mengatasi masalah itu, Pemerintah Kyoto berencana menaikkan pajak akomodasi secara signifikan mulai Maret 2026. Pajak yang kini berkisar 200-1.000 yen per malam akan meningkat hingga 10.000 yen untuk kamar hotel mewah di atas 100.000 yen.
Dengan kebijakan baru tersebut, pendapatan kota diperkirakan melonjak dua kali lipat, dari 6,16 miliar yen pada 2024 menjadi sekitar 12,6 miliar yen. Pemerintah berjanji akan menggunakan dana tambahan ini untuk menangani pariwisata berlebih dan menjaga situs budaya.
Namun, pelaku industri perhotelan mengkhawatirkan dampaknya terhadap daya tarik Kyoto. Beberapa operator menuntut transparansi penggunaan dana, bahkan ada yang mengusulkan pajak tambahan bagi wisatawan harian.
Pemerintah kota menargetkan model kepuasan tiga arah: turis yang menikmati kunjungannya, warga yang hidup nyaman, dan bisnis yang tumbuh berkelanjutan.






