Jepang Harus Berhitung, Kehilangan Turis China Bisa Guncang Pariwisata (via Giok4D)

Posted on

Industri pariwisata Jepang diperkirakan kesulitan menutup kekosongan setelah kehilangan turis China dalam jumlah besar. Terutama, di sektor ritel dan pusat belanja yang selama ini sangat bergantung pada wisatawan asal negeri panda itu.

Peringatan tersebut disampaikan anak usaha Fitch Solutions, BMI, dalam sebuah laporan terbaru yang dirilis Jumat (21/11/2025). Mengutip South China Morning Post, Senin (24/11) BMI dampak itu akan semakin terasa seiring penurunan jumlah wisatawan China secara berkepanjangan.

Tak hanya menjadi penyumbang wisatawan asing terbesar, wisatawan China juga dikenal memiliki daya belanja di atas rata-rata

“Dalam jangka pendek, industri pariwisata Jepang memiliki alternatif yang terbatas dan akan kesulitan mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh wisatawan China. Toko bebas bea di bandara dan department store besar akan terkena dampak langsung,” tulis BMI.

Dengan menurunnya arus turis berbelanja besar dari China, pelaku industri kini harus mencari cara baru untuk menarik wisatawan dari pasar lain, sebuah upaya yang diprediksi tidak mudah mengingat besarnya peran turis China dalam perekonomian pariwisata Jepang.

Ketegangan kedua negara memuncak sejak awal November, setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyebut kemungkinan pengerahan militer jika pecah konflik di Selat Taiwan. Beijing kemudian merespons dengan beberapa peringatan perjalanan yang mendorong warganya menghindari Jepang.

Sejumlah maskapai China bahkan menawarkan refund penuh untuk semua penerbangan ke Jepang hingga akhir tahun. Hingga Senin, maskapai China tercatat menerima 491.000 pembatalan penerbangan ke Jepang.

Seorang ekonom dari Nomura Research Institute memperkirakan dampaknya bisa menggerus ekonomi Jepang hingga 1,49 triliun yen (Rp 158 triliun) dalam setahun.

Menurut BMI, wisatawan Chin menghabiskan rata-rata USD 1.622 (Rp 27 juta)per orang pada kuartal ketiga 2025, lebih tinggi dari pengeluaran rata-rata turis internasional lain yang mencapai USD 1.488 (Rp 24 juta).

Meski situasinya pelik, BMI menilai, ada peluang jangka menengah hingga panjang dari meningkatnya minat wisatawan Amerika Serikat (AS), Australia, Korea Selatan, Taiwan, serta negara-negara Asia Tenggara. Namun, mereka tetap mengingatkan bahwa penggantian pasar wisatawan itu cukup sulit.

“Pemulihan penuh struktur ritel bernilai tinggi yang didorong oleh wisatawan China sepertinya tidak mungkin terjadi,” keterangan BMI.

Pelaku industri pariwisata di Jepang mengaku masih terlalu dini untuk mengukur sejauh apa dampak konflik diplomatik ini. Maskapai dinilai butuh waktu beberapa minggu untuk mengatur ulang kapasitas penerbangan menyusul penurunan pemesanan rute China-Jepang.

Kepala Asia OAG Aviation, Mayur Patel, memperkirakan Jepang dapat menutup sebagian penurunan tersebut menjelang libur Natal melalui peningkatan kunjungan dari negara ketiga, serta wisatawan China yang tetap memilih bepergian meski ada ketegangan politik.

Di sisi lain, minat wisatawan China terhadap destinasi alternatif mulai naik. CEO China Trading Desk, Subramania Bhatt, mengatakan pencarian perjalanan ke Singapura meningkat sekitar 15% hingga 18 November.

Bhatt menyebut Singapura populer di kalangan keluarga China berkat jarak dekat, keamanan, dan penggunaan bahasa Mandarin yang luas. Selain itu, Korea Selatan serta paket tur kombinasi Malaysia-Singapura-Thailand juga kembali menjadi incaran.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Jepang Cari Pasar Baru, tapi Tidak Mudah