Pakar UI: Kombinasi Maut Hujan Aneh & Deforestasi Penyebab Banjir Ekstrem Sumatera

Posted on

Banjir ekstrem yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memunculkan spekulasi soal kayu gelondongan yang terbawa banjir. Pakar lingkungan Universitas Indonesia Dr. Ir. Mahawan Karuniasa, MM menyebut kayu-kayu itu menunjukkan betapa dahsyatnya hujan yang melanda tiga provinsi Sumatera itu.

Sejumlah video menampilkan ribuan kayu gelondongan terbawa saat banjir bandang di sejumlah daerah di Sumatera Utara (Sumut) viral di media sosial. Kayu-kayu gelondongan yang terbawa banjir dan mengapung di Danau Singkarak, Nagari Muaro Pigai, Solok, Sumatera Barat juga terekam dalam foto udara yang diambil oleh Antara pada Minggu (30/11/2025).

Fenomena kayu gelondongan yang terbawa banjir itu memunculkan spekulasi bahwa banjir di Sumatera terkait dengan illegal logging. Mahawan menilai tudingan tersebut tidak tepat.

“Kayu-kayu yang terbawa banjir sebagian besar adalah pohon yang roboh akibat kekuatan air, bukan karena ditebang secara ilegal. Kalau diperhatikan dari video-video itu, ukuran kayu bervariasi. Fenomena itu lebih mencerminkan skala masif banjir daripada aktivitas penebangan,” kata Mahawan dalam perbincangan dengan infoTravel, Senin (1/12).

Mahawan menjelaskan bahwa banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar akhir November itu bukan hujan biasa. Dia mengatakan hujan deras berhari-hari itu dipengaruhi oleh siklon tropis.

“Ini juga aneh, banjir aneh, penyebabnya juga aneh. Ada bibit siklon 95B, yang kemudian berevolusi menjadi Siklon Tropis Senyar. Yang unik, siklon tropis biasanya menjauh dari ekuator, tapi kali ini muncul di dekat garis khatulistiwa, sehingga terbentuk badai siklon,” kata Mahawan.

“Jika hujan normal, air sungai biasanya mengalir tanpa menimbulkan banjir. Namun, ketika curah hujan ekstrem mencapai lebih dari 50 mm per hari, sungai-sungai di wilayah itu, yang secara morfologi tidak dirancang untuk menahan hujan sebesar ini, langsung meluap dan menimbulkan banjir bandang,” dia menambahkan.

Mahawan menambahkan merujuk pengalamannya melakukan penelitian di sejumlah sungai di Mandailing dan Tapanuli Selatan, hampir semua sungai di sana memiliki batas toleransi tertentu terhadap aliran air. Saat musim kemarau, sungai bisa kering, tetapi saat hujan ekstrem, sungai-sungai ini tidak mampu menahan volume air yang masuk, sehingga terjadi banjir.

“Terlebih lagi, kehadiran siklon tropis membawa curah hujan yang sangat ekstrem, sementara ekosistem di wilayah tersebut belum siap menghadapi kondisi semacam ini,” kata Mahawan.

Mahawan menjelaskan kondisi itu diperburuk oleh deforestasi di Sumatera. Sejak 2012, luas hutan di banyak kabupaten terus berkurang akibat tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.

Banyak wilayah yang sebelumnya hijau kini berubah menjadi lahan pertanian atau perkebunan, termasuk kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet. Perubahan tutupan lahan ini membuat ekosistem lebih rentan terhadap curah hujan ekstrem. Sungai-sungai yang sebelumnya mampu menampung aliran normal kini meluap, memicu banjir

“Tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk membuat hutan dibuka, tutupan lahan berubah dari hijau menjadi coklat. Saat hujan ekstrem datang, ekosistem yang rentan itu tak mampu menahan air, potensi banjir pun meningkat, rumah-rumah tergenang, dan bencana menjadi nyata,” ujar Mahawan.

Mahawan menilai fenomena hujan ekstrem di Aceh, Sumut, dan Sumbar, serta negara lain di Asia Tenggara pada November ini juga menjadi cerminan dampak perubahan iklim global. Siklon tropis, yang biasanya jarang mencapai garis khatulistiwa kini muncul di perairan Sumatera, menunjukkan ketidakstabilan pola cuaca.

Menurut Mahawan Indonesia harus mulai menyesuaikan kebijakan tata ruang, melakukan rehabilitasi dan restorasi ekosistem, serta mendorong pertanian berbasis intensifikasi agar masyarakat tetap produktif tanpa merusak hutan.

“Kesadaran masyarakat sangat penting. Jangan semua lahan hijau diubah menjadi perkebunan sawit atau komoditas lain. Intensifikasi skala kecil bisa meningkatkan pendapatan, tapi tetap menjaga keseimbangan ekologis,” kata dia.

Banjir dan longsor di Sumatera telah memakan korban jiwa dan hilang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga Minggu (30/11), total 442 warga meninggal dunia dan 402 orang masih hilang.

Di antara tiga provinsi, Sumatera Utara menjadi daerah dengan korban meninggal terbanyak, yakni 217 orang dengan 209 warga masih hilang. Jumlah korban meninggal di Aceh sebanyak 96 dan 75 hilang. Kemudian, korban jiwa di Sumbar mencapai 129 jiwa dan 118 orang hilang.

Diperburuk Deforestasi

Cerminan Perubahan Iklim

Gambar ilustrasi

Mahawan menjelaskan kondisi itu diperburuk oleh deforestasi di Sumatera. Sejak 2012, luas hutan di banyak kabupaten terus berkurang akibat tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.

Banyak wilayah yang sebelumnya hijau kini berubah menjadi lahan pertanian atau perkebunan, termasuk kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet. Perubahan tutupan lahan ini membuat ekosistem lebih rentan terhadap curah hujan ekstrem. Sungai-sungai yang sebelumnya mampu menampung aliran normal kini meluap, memicu banjir

“Tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk membuat hutan dibuka, tutupan lahan berubah dari hijau menjadi coklat. Saat hujan ekstrem datang, ekosistem yang rentan itu tak mampu menahan air, potensi banjir pun meningkat, rumah-rumah tergenang, dan bencana menjadi nyata,” ujar Mahawan.

Mahawan menilai fenomena hujan ekstrem di Aceh, Sumut, dan Sumbar, serta negara lain di Asia Tenggara pada November ini juga menjadi cerminan dampak perubahan iklim global. Siklon tropis, yang biasanya jarang mencapai garis khatulistiwa kini muncul di perairan Sumatera, menunjukkan ketidakstabilan pola cuaca.

Menurut Mahawan Indonesia harus mulai menyesuaikan kebijakan tata ruang, melakukan rehabilitasi dan restorasi ekosistem, serta mendorong pertanian berbasis intensifikasi agar masyarakat tetap produktif tanpa merusak hutan.

“Kesadaran masyarakat sangat penting. Jangan semua lahan hijau diubah menjadi perkebunan sawit atau komoditas lain. Intensifikasi skala kecil bisa meningkatkan pendapatan, tapi tetap menjaga keseimbangan ekologis,” kata dia.

Banjir dan longsor di Sumatera telah memakan korban jiwa dan hilang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga Minggu (30/11), total 442 warga meninggal dunia dan 402 orang masih hilang.

Di antara tiga provinsi, Sumatera Utara menjadi daerah dengan korban meninggal terbanyak, yakni 217 orang dengan 209 warga masih hilang. Jumlah korban meninggal di Aceh sebanyak 96 dan 75 hilang. Kemudian, korban jiwa di Sumbar mencapai 129 jiwa dan 118 orang hilang.

Diperburuk Deforestasi

Cerminan Perubahan Iklim