Anggrek Emas Papua, Bukan Sekadar Tanaman Hias, tapi Warisan Leluhur Suku Mee

Posted on

Anggrek emas adalah sebutan untuk anggrek kuning endemik di Papua dan Papua Nugini. Di Papua anggrek ini dijumpai di wilayah Meepago yang meliputi Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai dan Intan Jaya.

Di Papua Nugini anggrek ini ditemukan di Provinsi Sandaun, Madang dan Morobe. Diplocaulobium Aureicolor adalah nama latin anggrek ini, dikenal sebagai anggrek epifit tropis Papua dengan bunga menarik. Disebut anggrek emas karena warnanya kuning emas.

Diplocaulobium Aureicolor merupakan anggrek epifit yang menempel di pohon yang tumbuh pada daerah ketinggian 250 hingga 2.300 meter dari permukaan laut.

Diplocaulobium Aureicolor ini bunganya cantik dengan sepenuhnya berwarna kuning oranye. Diplocaulobium Aureicolor memiliki banyak pseudobulbs dengan daun tumbuh tegak dan tinggal. Bunga mekar sebagai bunga tinggal dengan ukuran 3 – 5 cm.

Anggrek Diplocaulobium Aureicolor ini membutuhkan cahaya matahari sekitar lima puluh persen setiap harinya. Diplocaulobium Aureicolor ini sangat rajin berkembang, tidak mengenal musim. Kalau berbunga bisa keluar 3 – 5 kuntum bunga.

Anggrek ini biasanya oleh suku Mee dipakai sebagai bahan pembuatan tas tradisional atau noken anggrek emas (toya agiya), noken yang hanya dipakai oleh pria berstatus tinggi atau tonowi. Noken anggrek emas harganya mencapai Rp 4 juta hingga Rp 10 juta lebih. Noken ini melambangkan kekayaan dan kekuasaan laki-laki suku Mee.

Anggrek ini oleh suku Mee dibudidayakan sebagai bahan noken anggrek emas di Mapia Barat, Piyaiye dan sebagian di Distrik Kamuu Timur dan Kamuu Utara, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah.

Media tanam bisa memakai batang pakis hutan. Anggrek emas bukan hanya tanaman hias biasa tetapi sudah menjadi bagian dalam budaya dan identitas Papua, kehilangan anggrek ini berarti kehilangan identitas, untuk itu perlu dijaga kelestariannya.

—-

Hari Suroto
Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN

Saksikan Live infoPagi :