Menjelang perayaan hari raya Waisak, para Bhikku dari berbagai negara melakukan ritual Thudong dengan berjalan kaki dari Thailand menuju ke candi Borobudur.
Para biksu Thudong pun mencuri perhatian masyarakat. Tak hanya umat Buddha, masyarakat Indonesia dari beragam latar belakang suku dan agama bersukacita menyambut rombongan bhiksu yang berjalan kaki dari Thailand.
Mereka membawakan makanan ringan, minuman ataupun memberikan semangat kepada para biksu yang telah berjalan sejauh ribuan kilometer ini.
Tak jarang para pemuka agama lokal juga membukakan pintu untuk mereka. Dengan suka cita, mereka menyambut kedatangan rombongan biksu hingga menawarkan tempat istirahat ataupun tempat menginap.
Thudong merupakan tradisi spiritual di mana para bhikkhu (biksu Buddha) melakukan perjalanan kaki sejauh ribuan kilometer sebagai bentuk pendalaman ajaran Buddha.
Perjalanan ini kerap melintasi berbagai medan dari hutan, pegunungan, desa terpencil, hingga kawasan perkotaan. Semakin jauh dan berat rute yang ditempuh, semakin tinggi pula nilai spiritual yang diyakini dapat dicapai.
Tradisi ini berakar dari praktik kuno di Asia Tenggara, terutama di negara-negara penganut Buddhisme Theravāda seperti Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja.
Dalam bahasa Pali, “thudong” berasal dari kata dhutanga, yang merujuk pada serangkaian praktik asketis guna melepaskan keterikatan terhadap hal-hal duniawi. Sementara dalam bahasa Thailand, thu dong secara harfiah berarti “berjalan kaki”.
Thudong memiliki jejak sejarah panjang yang diperkirakan bermula sejak abad ke-6 hingga ke-4 SM di India, saat Sang Buddha sendiri menjalani hidup sebagai pertapa dan pengembara. Para pengikutnya, termasuk para biksu dan biksuni, kemudian mengadopsi praktik ini untuk memperdalam meditasi dan pencapaian spiritual.
Salah satu referensi utama praktik ini adalah kitab Visuddhimagga atau “Jalan Menuju Penyucian”, yang ditulis filsuf Buddhis Buddhaghosa pada abad ke-5.
Dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa pertapaan dan pengembaraan adalah langkah penting untuk mencapai pencerahan dan kebebasan spiritual (nirwana).
Kitab ini menekankan pentingnya menjauh dari keramaian agar para bhikkhu dapat bermeditasi dalam ketenangan dan terbebas dari godaan duniawi. Saat ini, bentuk praktik thudong telah berkembang.
Selain menjelajah alam, para bhikkhu juga mengunjungi tempat-tempat suci pada momen Waisak sebagai bagian dari perjalanan spiritual.
Selama thudong, para bhikkhu menyebarkan pesan damai, ketenangan, dan hidup sederhana. Setiap langkah mereka merupakan pengingat akan pentingnya welas asih dan pengendalian diri dalam kehidupan.
Dirangkum dari berbagai sumber, dalam menjalani thudong, para bhikkhu tetap mematuhi disiplin ketat yang berlaku di lingkungan monastik. Mereka hanya makan sekali sehari, dan hanya di pagi hari, tidak boleh lewat dari tengah hari. Ini menjadi latihan kesabaran, terlebih dalam kondisi cuaca panas dan perjalanan yang melelahkan.
Selain itu, makanan yang dikonsumsi pun terbatas. Mereka hanya diperbolehkan makan dalam porsi kecil, tidak lebih dari sekepal tangan, dan tidak menyimpan makanan. Jika ada makanan berlebih atau tidak sesuai, akan dikembalikan ke vihara.
Thudong bukanlah praktik yang wajib bagi semua bhikkhu. Mereka yang sedang sakit atau memiliki kecenderungan batin yang belum stabil, seperti amarah yang mendalam, biasanya tidak dianjurkan untuk melakukannya.
Terdapat 13 praktik pertapaan dalam thudong yang hingga kini masih dijalankan, antara lain sebagai berikut:
– Mengenakan jubah dari kain bekas
– Hanya memakai tiga helai jubah
– Menerima makanan dari sedekah tanpa memilih-milih
– Makan hanya satu kali sehari, langsung dari mangkuk biksu
– Menolak tambahan makanan
– Bermukim di hutan, alam terbuka, atau bahkan di pemakaman
– Tidur di tempat yang tersedia
– Selalu tidur dalam posisi duduk
Thudong bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi latihan batin untuk mengikis ego, menumbuhkan kesederhanaan, serta memperkuat komitmen terhadap kehidupan spiritual yang penuh kesadaran.
Dirangkum dari berbagai sumber, perjalanan biksu dimulai dari Nakhon Si Thammarat di Thailand. Para Biksu berjalan kaki hingga Malaysia, kemudian menyebrang ke Singapura lalu singgah ke Batam, Indonesia.
Selanjutnya, dari Batam, rombongan biksu diterbangkan menuju Jakarta. Mereka berjalan melewati sejumlah daerah di jalur pantura seperti Bekasi, Cikarang, Karawang, Pamanukan, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal dan Semarang. Dari Semarang, para biksu mengambil arah selatan, melintasi Ambarawa ke Candi Borobudur.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Selama perjalanan, para biksu juga akan berjumpa dengan segala makhluk yang ada di muka bumi, termasuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Perjalanan ini merupakan upaya meditasi dengan mendekatkan diri pada alam. Hal ini merupakan bagian dari perintah 13 praktik pertapaan biksu buddhis (dhutanga) yang dianjurkan Buddha Gautama.
——-
Artikel ini telah naik di