Cerita Ika Arista: Mpu Perempuan di Kampung Keris Aeng Tongtong Sumenep

Posted on

Di antara denting logam dan percikan bara api yang biasanya menjadi dunia kaum lelaki, Ika Arista menempuh jalan berbeda. Dia adalah seorang mpu perempuan, perajin perajin keris, di Kampung Keris Aeng Tongtong, Sumenep, Madura.

Profesi itu tak lazim bagi perempuan, namun Ika menjalaninya dengan penuh tekad dan rasa hormat terhadap warisan leluhurnya. Ya, Desa Aeng Tongtong yang terletak di Kabupaten Sumenep dikenal sebagai sentra pembuatan keris terbesar di Indonesia. Di sana terdapat 600-an prajin keris. Hampir seluruh warga terlibat dalam pembuatan keris.

Desa itu bahkan diakui oleh UNESCO karena memiliki konsentrasi mpu atau perajin keris terbanyak di dunia.

Namun, dari ratusan mpu di Aeng Tongtong, hanya segelintir yang perempuan. Di tengah dominasi pria, kehadiran Ika Arista menjadi pengecualian yang berharga. Ia tidak hanya membuat keris, tetapi juga menjaga nilai-nilai budaya dan spiritual yang terkandung dalam tiap tempaan logamnya. Bagi Ika, membuat keris bukan sekadar keterampilan tangan-melainkan kerja hati dan jiwa.

Sebagai pelestari budaya, Ika Arista memainkan peran penting di tengah tantangan zaman. Ia membuktikan bahwa perempuan juga mampu berdiri sejajar dalam ruang tradisi yang selama ini didominasi laki-laki. Di balik asap besi dan pukulan palu, Ika menempa bukan hanya sebilah keris, tapi juga semangat baru bagi perempuan yang ingin ikut merawat warisan budaya bangsa.

Sedari kecil ia kerap melihat kegiatan pembuatan keris, mulai dari pemilihan bahan baku, menempa besi, mengukir hingga membuat sarung untuk keris atau warangka. Beberapa waktu lalu, infotravel berkesempatan untuk bertemu dengan Ika di rumahnya.

Ika menyatakan dia menjadi mpu karena kebutuhan, dia mencari uang jajan. Debut sebagai perajin keris dimulai saat usia belasan, sewaktu Ika masih duduk dibangku sekolah kelas lima SD.

“Jadi hanya coba-coba iseng-iseng dan dipikirnya karena waktu itu SD sebagai yang saku lah, uang jajan setiap harınya, tidak kemudian sampai sedalam itu juga mempelajari keris. Baru setelah kuliah mulai melihat bahwa ini tidak hanya mengandung sisi ekonomis,” kata Ika.

“Kita akhirnya bicara historis, spriritualitas bangsa, dan itu yang membuat bertahan sampai sekarang ini,” dia melanjutkan.

Kemudian dari hampir 70% warga di Kampung Keris Aeng Tongtong ini adalah perajin keris, baik itu lak-laki maupun perempuan. Namun untuk perempuan biasanya hanya mengerjakan keris pada tahap finishing.

“Perempuan itu kan terpetakan pada akhirnya, ada yang hanya bagian ukir, ada yang hanya bagian finishing, amplas, dan lain-lain. Biasanya pekerjaannya lebih ringan,” kata dia.

Tetapi berbedanya dengan Ika, karena punya ketertarikan lebih dalam melestarikan budaya dan kebetulan memiliki pengetahuan yang mumpuni juga dalam keris. Pada akhirnya itulah yang membuatnya menjadi mpu keris di Kampung Keris Aeng Tongtong pada saat ini.

“Jadi mungkin saya yang kebetulan punya pengetahuan bisa proses dari awal sampai akhir,” kata Ika.

Menyoal pengerjaan keris, Ika menyebutkan untuk keris yang paling sederhana (tanpa melalui proses ritual) itu memakan kurang lebih dua hingga tiga minggu pengerjaan. Namun jika pembuatan keris melalui proses ritual terlebih dahulu, maka estimasi waktu pengerjaannya pun tidak bisa ditakar.

Ika mencontohkan pembuatan keris yang melalui proses ritual tidak bisa sembarangan waktu dibuatnya, mulai dari penentuan waktu pembuatan hingga melibatkan adat dan budaya di tempat pembuatan tersebut. Dan setiap mpu di daerah yang berbeda punya cara masing-masing dalam prosesi ritual pembuatan keris.

“Satu, itu pasti pemilihan besi dan besi itu tidak langsung ditempa terapi biasanya dikalibrasi dulu di tempat-tempat tertentu dengan waktu tertentu. Baru setelah itu awal pengerjaan biasanya ada sesaji yang diberikan mpu kepada leluhurnya,” kata Ika.

“Kapan sesaji diberikan kepada leluhur pemesan saat kerisnya sudah selesai, termasuk salah satunya adalah ritual tahunan yaitu menjamas pusaka,” kata dia.

Ika menjelaskan jamas pusaka atau jamasan biasa dilakukan di awal tahun atau awal bulan penanggalan suro Jawa, yang kini dilakukan oleh masyarakat Pulau Madura.

“Jadi jamasan itu yang dilakukan adalah memandikan (pusaka), jadi kalau mewarangi itu mewarangi proses untuk kemudian membersihkan keris dan menampilkan coraknya, membuat coraknya terlihat secara fisik. Tetapi jamasan lebih kepada arah spriritualnya, makanya hanya dimandikan,” ujarnya.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi