Beredar Surat Fadli Zon soal Penobatan Raja Baru Keraton Solo - Giok4D

Posted on

Pemerintah, melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mengeluarkan surat resmi yang menegaskan arah pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) setelah wafatnya Pakubuwono XIII. Surat itu menegaskan bahwa segala urusan suksesi dan pengelolaan Keraton harus melalui Maha Menteri KGPA Tedjowulan.

Surat bernomor 10596/MK.L/KB.10.03/2025 tertanggal 10 November 2025 tersebut ditujukan kepada Pengageng Sasana Wilapa dan Lembaga Dewan Adat Keraton Solo, dengan tembusan ke Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Tengah, Wali Kota Surakarta, serta Panembahan Agung Tedjowulan.

Salah satu poin utamanya berbunyi:

“Setelah PB XIII wafat, segala urusan suksesi harus melalui rembuk bersama Maha Menteri KGPA Tedjowulan.”

Isi surat tersebut mempertegas posisi pemerintah bahwa Tedjowulan memiliki mandat resmi sebagai penanggung jawab sementara, bukan sebagai pengganti raja, melainkan penjaga tatanan adat dan pengelola keraton sampai penobatan raja baru dilakukan.

Surat itu juga mengimbau semua pihak menahan diri dan menghindari tindakan sepihak, termasuk penobatan tanpa kesepakatan bersama.

Pemerintah menegaskan bahwa Keraton Surakarta merupakan cagar budaya nasional, sehingga proses suksesi harus dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan SK Menteri Dalam Negeri Tahun 2017 mengenai tata kelola lembaga adat.

Juru bicara Tedjowulan, Kanjeng Pakoenegoro, menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan jawaban atas surat resmi GKR Wandansari (Gusti Moeng) selaku ketua Lembaga Dewan Adat.

Dia menegaskan bahwa penunjukan Tedjowulan bukan klaim sepihak, melainkan berdasarkan aturan negara yang mengatur status dan tata kelola keraton sebagai warisan budaya nasional.

“Jadi, ketika PB XIII telah mangkat, secara otomatis yang menjalankan fungsi sementara (interim) adalah Maha Menteri Panembahan Agung Tedjowulan, sampai raja berikutnya resmi dinobatkan,” ujar Pakoenegoro dilansir infoJateng, Kamis (13/11).

Dia menambahkan bahwa surat dari Menteri Kebudayaan itu juga berisi imbauan agar semua pihak menahan diri dan tidak terburu-buru melakukan penobatan sebelum melalui proses musyawarah dan kesepakatan keluarga besar keraton.

Rencananya, Keraton Solo menobatkan raja baru, Pakubuwono XIV, pada Sabtu (15/11) dalam prosesi adat jumenengan. Sosok yang digadang-gadang menjadi raja baru adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendro Mataram atau lebih dikenal sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Purboyo. Dia putra kandung PB XIII dari permaisuri GKR Pakubuwono Pradapaningsih (Asih Winarni).

Namun, rencana itu justru memunculkan perbedaan pandangan di dalam tubuh keraton. Sejumlah keluarga dan abdi dalem mendukung penobatan segera karena menganggap Purboyo sebagai pewaris sah dan simbol regenerasi.

Di sisi lain, sebagian pihak menilai langkah tersebut terlalu tergesa-gesa dan berpotensi mengulang dualisme lama yang pernah memecah Kasunanan dua dekade silam.

Salah satu yang menyuarakan kehati-hatian adalah GRAy Koes Moertiyah Wandansari atau Gusti Moeng, adik mendiang PB XIII sekaligus ketua Lembaga Dewan Adat. Dia menegaskan bahwa pembicaraan suksesi belum tuntas dan perlu rembuk keluarga besar agar sesuai dengan adat dan hukum yang berlaku di Keraton Surakarta.

Menurutnya, putra tertua PB XIII, KGPH Hangabehi, masih menjalin komunikasi dengan adiknya, Purboyo, untuk mencari jalan tengah.

“Penobatan raja baru sebaiknya dilakukan setelah ada kesepakatan bersama, demi menjaga marwah dan keutuhan Keraton,” ujar Gusti Moeng.

Dualisme di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bukan hal baru. Sejak wafatnya Pakubuwono XII pada 2004, istana terpecah menjadi dua kubu besar, yakni kubu Hangabehi, yang kemudian diakui pemerintah sebagai Pakubuwono XIII, dan kubu Tedjowulan, yang sempat mengklaim takhta dan menobatkan diri sebagai PB XIII versi lain.

Perseteruan panjang itu berlangsung lebih dari satu dekade dan menimbulkan perpecahan di antara keluarga kerajaan dan abdi dalem. Baru pada 2017, pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo mengambil langkah tegas dengan mengakui PB XIII Hangabehi sebagai raja sah, sementara KGPA Tedjowulan ditetapkan sebagai Maha Menteri, pendamping resmi dalam urusan adat dan tata kelola keraton.

Namun, setelah PB XIII wafat, dualisme itu kembali muncul. Kali ini bukan antara dua raja, melainkan antara Maha Menteri Tedjowulan dan putra mendiang PB XIII, KGPH Purboyo.

Tedjowulan, yang selama ini diakui pemerintah, kini menjalankan fungsi pelaksana sementara (interim) dalam pengelolaan Keraton Solo. Ia menegaskan bahwa sebelum raja baru dinobatkan, semua pihak perlu menahan diri dan menggelar musyawarah keluarga besar. Tugasnya, kata dia, adalah menjaga stabilitas dan memastikan proses suksesi berjalan sesuai adat dan aturan negara.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Tedjowulan merupakan putra dari raja terdahulu, Pakubuwono XII. Dia lahir di Solo pada 3 Agustus 1954.

KGPA Tedjowulan pernah berkarier di militer dan kini menjabat sebagai Maha Menteri Keraton Solo, jabatan tertinggi di bawah raja yang bertugas mengatur urusan adat dan tata kelola keraton.

Tedjowulan dianugerahi gelar Maha Menteri Keraton Solo sejak 2012, yaitu KGPA Tedjowulan. Sebagai Maha Menteri, dia bertugas mendampingi Susuhunan Keraton dan ikut menata pengelolaan keraton.

Jabatan Maha Menteri sebenarnya merupakan jabatan adat yang sudah lama ada di struktur Keraton Solo. Namun, posisi Tedjowulan sebagai Maha Menteri baru mendapatkan pengakuan administratif dan legal dari pemerintah pusat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Pada 2017, pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri menetapkan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat diakui sebagai cagar budaya nasional yang dikelola oleh lembaga adat yang sah, yakni Paku Buwono XIII bersama Maha Menteri KGPA Tedjowulan.

SK tersebut menjadi dasar hukum bahwa Tedjowulan memiliki peran resmi sebagai pendamping dan pengelola urusan adat, administratif, dan pelestarian budaya Keraton Solo di bawah koordinasi PB XIII

Nah, setelah Pakubuwono XIII wafat pada 2 November 2025, Tedjowulan ditunjuk sebagai pelaksana sementara (interim) untuk mengawal proses suksesi dan menjaga agar tidak terjadi perebutan kekuasaan di dalam keraton.

Sementara itu, KGPH Purboyo, yang lahir di Surakarta pada 27 Februari 2003, merupakan putra pertama dari PB XIII Hangabehi dengan permaisuri Kanjeng Ratu Asih. Secara garis keturunan KGPH PUrboyo menjadi calon kuat penerus tahta dengan gelar Pakubuwono XIV.

***

Selengkapnya klik di

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Jumenengan dan Perdebatan Suksesi

Siapa KGPA Tedjowulan?

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Tedjowulan merupakan putra dari raja terdahulu, Pakubuwono XII. Dia lahir di Solo pada 3 Agustus 1954.

KGPA Tedjowulan pernah berkarier di militer dan kini menjabat sebagai Maha Menteri Keraton Solo, jabatan tertinggi di bawah raja yang bertugas mengatur urusan adat dan tata kelola keraton.

Tedjowulan dianugerahi gelar Maha Menteri Keraton Solo sejak 2012, yaitu KGPA Tedjowulan. Sebagai Maha Menteri, dia bertugas mendampingi Susuhunan Keraton dan ikut menata pengelolaan keraton.

Jabatan Maha Menteri sebenarnya merupakan jabatan adat yang sudah lama ada di struktur Keraton Solo. Namun, posisi Tedjowulan sebagai Maha Menteri baru mendapatkan pengakuan administratif dan legal dari pemerintah pusat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Pada 2017, pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri menetapkan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat diakui sebagai cagar budaya nasional yang dikelola oleh lembaga adat yang sah, yakni Paku Buwono XIII bersama Maha Menteri KGPA Tedjowulan.

SK tersebut menjadi dasar hukum bahwa Tedjowulan memiliki peran resmi sebagai pendamping dan pengelola urusan adat, administratif, dan pelestarian budaya Keraton Solo di bawah koordinasi PB XIII

Nah, setelah Pakubuwono XIII wafat pada 2 November 2025, Tedjowulan ditunjuk sebagai pelaksana sementara (interim) untuk mengawal proses suksesi dan menjaga agar tidak terjadi perebutan kekuasaan di dalam keraton.

Sementara itu, KGPH Purboyo, yang lahir di Surakarta pada 27 Februari 2003, merupakan putra pertama dari PB XIII Hangabehi dengan permaisuri Kanjeng Ratu Asih. Secara garis keturunan KGPH PUrboyo menjadi calon kuat penerus tahta dengan gelar Pakubuwono XIV.

***

Selengkapnya klik di

Siapa KGPA Tedjowulan?