Kepunahan orangutan tapanuli kian mengintai. Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan (PRZT) BRIN, Wanda Kuswanda, menekankan pentingnya pembangunan koridor satwa liar sebagai strategi konservasi utama.
Populasi orangutan yang hanya hidup di kawasan ekosistem Batang Toru, Sumatra Utara, itu terancam akibat semakin menyusutnya habitat mereka.
“Kalau kawasan itu rusak maka orangutanorangutan Tapanuli akan punah,” kata Wanda dalam acara Applied Zoology Summer School Series #3 yang digelar secara hybrid di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Rabu (27/5/2025) dikutip Jumat (6/6).
Orangutan Tapanuli merupakan spesies langka-jenis ketiga orangutanorangutan di dunia dan hanya ditemukan di selatan Sumatra. Saat ini, habitat mereka terbatas di kawasan seluas sekitar 138.435 hektare.
Sayangnya, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa kehilangan tutupan hutan, khususnya di luar kawasan hutan, masih terjadi signifikan. Pada periode 2022-2023 saja, sekitar 121.000 hektare hutan hilang. Kondisi itu berdampak besar bagi kelangsungan hidup satwa liar.
Wanda menjelaskan bahwa berkurangnya tutupan hutan menyebabkan terputusnya jalur jelajah, menurunnya ketersediaan pakan, hingga meningkatnya stres dan konflik antara satwa dan manusia.
“Pembukaan hutan untuk sawit, pertanian, dan aktivitas ilegal lainnya membuat satwa seperti orangutanorangutan semakin terdesak. Ini menyebabkan populasi mereka terfragmentasi, terisolasi, dan rawan punah,” ujar Wanda.
Wanda mengatakan untuk mengatasinya perlunya membangun koridor satwa liar, yakni jalur bervegetasi alami atau buatan yang menghubungkan habitat yang terpisah. Koridor itu memungkinkan pergerakan antarpopulasi, menjaga aliran genetik, dan mengurangi risiko inbreeding.
Dengan amandemen UU No. 5 Tahun 1990 menjadi UU No. 23 Tahun 2024, koridor kini diakui secara hukum sebagai bagian dari area konservasi, bahkan di luar Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
“Koridor satwa ini bisa menjadi jalur penting bagi migrasi, mencegah konflik satwa-manusia, dan memperkuat ekosistem,” kata Wanda.
BRIN telah membuat sejumlah rekomendasi strategis. Pertama, mendesain ulang koridor sebagai wilayah konservasi dengan lebar minimal 100 meter, dan meminimalkan gangguan manusia. Jika jalur koridor melintasi lahan perusahaan, maka harus dipilih area dengan potensi gangguan paling rendah.
Kedua, membangun koridor buatan seperti jembatan atau lintasan satwa yang melintasi jalan dan sungai. Ketiga, memulihkan area koridor yang rusak dengan penanaman pohon pakan bagi orangutanorangutan. Namun, Wanda menekankan bahwa jenis pohon harus disesuaikan dengan kebutuhan orangutanorangutan, bukan manusia.
Keempat, perlu skema kompensasi non-tunai bagi masyarakat yang lahannya dialihfungsikan menjadi koridor.
“Kita harapkan ada lembaga khusus yang mengatur kompensasi ini, agar masyarakat juga merasa terlibat dan mendapatkan manfaat,” kata dia.
Hasil riset BRIN juga telah mendorong kebijakan daerah, salah satunya melalui Peraturan Bupati Tapanuli Selatan yang mengatur pembangunan koridor dan pelestarian orangutanorangutan Tapanuli.
Wanda berharap melalui upaya itu kelestarian orangutan bisa dijaga, sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem hutan Batang Toru bagi generasi mendatang.