Dampak Efisiensi Anggaran Terhadap Industri Pariwisata dan Strategi Adaptif yang Dicetuskan

Posted on

Dampak efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah mulai terasa di sektor pariwisata. Okupansi hotel merosot, dua hotel di Bogor tutup, dan ratusan karyawan kehilangan pekerjaan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menggandeng PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) untuk memetakan dampak serta menyusun strategi adaptif demi menjaga keberlangsungan industri.

Efek domino pemangkasan anggaran pemerintah itu salah satunya adalah menurunnya okupansi hotel selama periode libur Lebaran. Padahal, biasanya periode itu menjadi masa panen bagi pelaku industri perhotelan.

Dua hotel di Bogor bahkan terpaksa menutup operasional. Selain itu, dilaporkan sekitar 150 karyawan terkena PHK.

Kondisi itu mendorong Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk bergerak cepat. Dalam konferensi pers UN Tourism 37th CAP-CSA di Jakarta, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf Rizki Handayani Mustafa mengungkapkan tengah berkoordinasi dengan PHRI untuk memetakan dampak secara menyeluruh.

“Kami sedang berdiskusi dengan PHRI untuk melihat seberapa besar dampak efisiensi anggaran ini secara angka, terutama dari sisi okupansi dan jenis hotel yang paling terdampak,” ujar Rizki.

Pemetaan akan difokuskan pada segmentasi hotel-apakah yang terdampak adalah hotel leisure atau hotel MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Rizki menekankan pentingnya data yang akurat agar semua pemangku kepentingan bisa menyusun strategi berbasis bukti, bukan asumsi.

Tak hanya menunggu bantuan, Kemenparekraf juga mendorong hotel untuk berinovasi menyasar target pasar baru. Yakni, komunitas kecil dengan daya beli tinggi.

Rizki mencontohka komunitas penggemar otomotif atau komunitas minum teh ala ibu-ibu sosialita.

“Ada komunitas ibu-ibu yang mau habiskan Rp1 juta untuk acara minum teh. Kenapa tidak gelar acara seperti itu di hotel? Tinggal dikemas dengan aktivitas menarik lain, ini bisa jadi peluang,” kata dia.

Selain inovasi acara, Rizki juga menyoroti pentingnya konsep keberlanjutan dalam penyajian makanan. Ia mendorong hotel untuk mulai menyajikan menu lebih sederhana, mengurangi sampah makanan, bahkan meniru praktik positif dari Jepang.

“Di Jepang, makanan disajikan secukupnya, tak pakai piring melainkan kertas berisi kisah makanan itu. Bahkan, tamu diminta membawa pulang makanan jika tidak habis. Ini praktik yang patut dicontoh,” kata dia.

Rizki menegaskan bahwa tanggung jawab menjaga industri pariwisata tidak hanya ada di tangan pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan konsumen. Kemenparekraf berjanji untuk terus melakukan promosi dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh pelaku industri.

“Kita harus sadar bahwa menjaga pariwisata berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama-pemerintah, industri, dan para wisatawan,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *