Gerbang ‘Candi Bentar’ Cocok dengan Desain Gedung Sate?

Posted on

Renovasi gapura Gedung Sate tengah menjadi sorotan. Proyek yang mengusung konsep arsitektur bergaya candi itu tengah menjadi polemik.

Mengutip , keramik dari tanah liat yang dibakar atau disebut terakota menjadi material utama penyusun gerbang ‘Candi Bentar’ di Gedung Sate.

“Itu desainnya mengangkat elemen arsitektur candi bentar, itu memang sudah menjadi bagian dari Gedung Sate yang sudah lama dibangun jadi ada unsur candi bentar di area kompleks Gedung Sate,” kata Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Jawa Barat, Mas Adi Komar, Kamis (20/11/2025) dalam artikel berjudul ‘Telan Rp 3,9 M, Sentuhan Candi Bentar Percantik Gerbang Gedung Sate’.

Biaya renovasi Gedung Sate direnovasi dengan gaya Candi Bentar itu mencapai Rp 3,9 miliar.

Menurut salah satu Ahli Cagar Budaya Jawa Barat, Tubagus Adhi, gerbang ‘Candi Bentar’ di Gedung Sate, masih selaras dengan visi arsitek asli J Gerber yang mengusung gaya eklektik-Art Deco.

Karenanya, menurut Adhi, polemik publik mengenai ketidakserasian desain gerbang baru dan bangunan tidaklah berdasar, mengingat konteks arsitektur Gedung Sate, sejak awal dibangun bukan murni bergaya Eropa, melainkan perpaduan lintas budaya.

“Gedung Sate didesain Gerber dengan gaya eklektik yang kita sebut Art Deco. Pada masa Hindia Belanda, gaya ini mereposisi bentuk candi Hindu-Buddha ke dalam bangunan modern. Jadi, penambahan elemen Candi Bentar justru memiliki benang merah sejarah yang kuat,” kata Adhi seperti dilansir dari Antara, Senin (24/11/2025).

Pernyataan ini juga, merespons perdebatan di media sosial yang menilai pilar bata warna terakota khas Tatar Sunda, pada gerbang baru tersebut bertabrakan dengan fasad kolonial Gedung Sate yang dominan putih, walau di beberapa gerbang sebenarnya warna ini dicat putih.

Adhi yang juga menjabat Humas Bandung Heritage Society, juga meluruskan miskonsepsi masyarakat mengenai status pagar Gedung Sate. Dari yang diketahuinya, pagar yang dibongkar dan diganti tersebut bukanlah cagar budaya warisan kolonial, melainkan bangunan tambahan yang didirikan pemerintah pada era 1980-an.

“Pada masa kolonial, Gedung Sate itu tidak memiliki pagar (terbuka). Jadi penggantian pagar saat ini tidak melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, selama masuk dalam koridor adaptasi untuk kebutuhan masa kini,” ujarnya.

Dalam konteks undang-undang tersebut, adaptasi bangunan cagar budaya diperbolehkan untuk memenuhi fungsi perlindungan dan pemanfaatan tanpa mengurangi nilai utamanya.

Adhi menilai, pembangunan gerbang baru ini krusial untuk aspek keamanan aset vital negara dan aksesibilitas publik, termasuk penyandang disabilitas.

“Kita belajar dari kejadian demonstrasi di DPRD Jawa Barat yang pagarnya dibakar massa. Keberadaan pagar yang representatif penting untuk melindungi aset, namun tetap harus estetis,” kata dia.

Menurut Adhi, langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghadirkan sentuhan lokal Candi Bentar merupakan terobosan berani dalam arsitektur bangunan pemerintahan di Tanah Pasundan, yang selama ini tertinggal dibandingkan provinsi lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Bali yang konsisten menonjolkan identitas lokal pada gedung negaranya.

“Bagi saya pribadi, konteks Gapura Candi Bentar ini keren dan memiliki sentuhan nilai sejarah yang menguatkan identitas kawasan, bukan merusaknya,” tutur Adhi.