IKN dan Ancaman Stok Air buat Penghuninya

Posted on

Di tengah penilaian menjadi kota hantu, ketersediaan air di Ibu Kota Nusantara (IKN) disebut sebagai tantangan besar dalam pembangunan kota masa depan. Pemerintah diminta berhitung ulang, apalagi IKN dipastikan menjadi ibu kota politik.

Hasil riset melalui pendekatan artificial Neural Network (ANN) menunjukkan hanya 0,5 persen air yang tersedia secara langsung di permukaan, sekitar 20% tersimpan dalam vegetasi, dan sisanya 79% merupakan kawasan non-air berupa lahan terbangun.

“Hasil ini bisa dianggap sebagai warning bagi pemangku kebijakan. Air yang benar-benar terlihat di permukaan hanya 0,5%. Angka ini tentu jauh dari ideal untuk menopang kebutuhan kota,” ujar peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM) BRIN, Laras Tursilowati, dalam laman resmi BRIN dikutip Jumat (31/10/2025).

Kajian berbasis data satelit dengan metode ANN ini mencapai akurasi hingga 97,7% sehingga dapat menjadi acuan awal bagi perencanaan pembangunan IKN.

Laras mengatakan kondisi geografis Kalimantan sebenarnya memiliki curah hujan yang cukup, tetapi air hujan langsung hilang sebagai limpasan (runoff). Kondisi itu disebabkan oleh minimnya vegetasi penyerap dan keterbatasan infrastruktur penampung air.

“Saat terakhir ke IKN, terlihat sudah ada danau buatan. Namun, volumenya masih sangat kecil untuk menopang kebutuhan jangka panjang. Air permukaan memang sedikit sehingga harus ada strategi untuk memperbanyak cadangan melalui embung atau waduk kecil,” kata dia.

Selain itu, karakteristik tanah, keberadaan rawa dan gambut, serta tingginya tingkat pembangunan lahan non-hijau memperbesar risiko kelangkaan air. Air gambut misalnya, sulit dimanfaatkan langsung sebagai air bersih tanpa proses pengolahan khusus.

Penilaian potensi IKN menjadi kota hantu diberitakan The Guardian dan dipublikasikan pada 29 Oktober 2025. Dalam pemberitaan itu, IKN diprediksi menjadi kota hantu karena anggaran pembangunan jauh lebih kecil setelah pergantian presiden, dari Joko Widodo kepada Prabowo Subianto. Kemudian, jumlah ASN yang dipindahkan ke sana juga masih jauh dari target.

Laras mengatakan pemerintah perlu mengadopsi konsep tata kelola kota yang ramah lingkungan. Salah satu usulannya adalah pembangunan hutan kota di kawasan IKN.

“Hutan kota berfungsi sebagai penyangga ekologi, penyerap air hujan, dan sekaligus meningkatkan kenyamanan termal. Saat ini kawasan masih terasa sangat gersang dan panas,” kata dia.

Selain hutan kota, konsep sponge city juga dinilai relevan. Model itu bertujuan menjadikan kota mampu menyerap dan menyimpan air hujan secara alami melalui infrastruktur hijau, taman, area resapan, serta pengelolaan lahan yang tidak seluruhnya tertutup aspal dan beton.

“Curah hujan di Kalimantan sebenarnya tinggi. Pertanyaannya, ke mana air itu pergi? Jika tidak dikelola, air hanya lewat sebagai banjir sesaat lalu hilang. Dengan teknik yang tepat, air bisa ditangkap, diserap, dan dimanfaatkan kembali,” ujarnya.

Selain itu, pembangunan embung di berbagai titik juga mendesak. Embung berfungsi menampung air hujan sekaligus menjaga cadangan pada musim kemarau. Dalam jangka panjang, diperlukan pula sistem digitalisasi distribusi air agar penggunaannya lebih teratur dan efisien.

Laras menekankan upaya perbaikan ketersediaan air di IKN memerlukan kolaborasi lintas disiplin. Kajian hidrologi, konservasi lahan, serta pengelolaan infrastruktur air harus berjalan beriringan.

“Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut biaya besar yang harus dihitung secara matang. Pembangunan ibu kota tidak boleh hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga ekologi,” kata dia.

Dia menambahkan edukasi masyarakat menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan.

“Air bisa jadi rebutan jika tidak ada pengelolaan yang bijak. Kesadaran untuk menghemat dan tidak mencemari air harus dibangun sejak awal,” ujar dia.

Hasil kajian BRIN ini belum sepenuhnya dikomunikasikan kepada Otorita IKN. Namun, Laras berharap media dapat menjadi saluran agar hasil riset sampai ke pengambil kebijakan.

“Ini adalah data awal yang bisa digunakan untuk menyusun strategi lebih lanjut. Riset berbasis satelit akan terus kami lanjutkan untuk memantau perkembangan 5-10 tahun ke depan,” ujar dia.

Dengan kondisi eksisting yang masih jauh dari ideal, pembangunan IKN menuntut strategi pengelolaan air yang komprehensif.

“Kondisi saat ini memang kurang, tetapi masih bisa diperbaiki. Pertanyaannya tinggal bagaimana langkah konkretnya dan seberapa besar biaya yang bersedia dikeluarkan,” kata Laras.

Saksikan Live infoPagi :

Usulan Solusi: Hutan Kota-Sponge City

Laras mengatakan pemerintah perlu mengadopsi konsep tata kelola kota yang ramah lingkungan. Salah satu usulannya adalah pembangunan hutan kota di kawasan IKN.

“Hutan kota berfungsi sebagai penyangga ekologi, penyerap air hujan, dan sekaligus meningkatkan kenyamanan termal. Saat ini kawasan masih terasa sangat gersang dan panas,” kata dia.

Selain hutan kota, konsep sponge city juga dinilai relevan. Model itu bertujuan menjadikan kota mampu menyerap dan menyimpan air hujan secara alami melalui infrastruktur hijau, taman, area resapan, serta pengelolaan lahan yang tidak seluruhnya tertutup aspal dan beton.

“Curah hujan di Kalimantan sebenarnya tinggi. Pertanyaannya, ke mana air itu pergi? Jika tidak dikelola, air hanya lewat sebagai banjir sesaat lalu hilang. Dengan teknik yang tepat, air bisa ditangkap, diserap, dan dimanfaatkan kembali,” ujarnya.

Selain itu, pembangunan embung di berbagai titik juga mendesak. Embung berfungsi menampung air hujan sekaligus menjaga cadangan pada musim kemarau. Dalam jangka panjang, diperlukan pula sistem digitalisasi distribusi air agar penggunaannya lebih teratur dan efisien.

Laras menekankan upaya perbaikan ketersediaan air di IKN memerlukan kolaborasi lintas disiplin. Kajian hidrologi, konservasi lahan, serta pengelolaan infrastruktur air harus berjalan beriringan.

“Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut biaya besar yang harus dihitung secara matang. Pembangunan ibu kota tidak boleh hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga ekologi,” kata dia.

Dia menambahkan edukasi masyarakat menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan.

“Air bisa jadi rebutan jika tidak ada pengelolaan yang bijak. Kesadaran untuk menghemat dan tidak mencemari air harus dibangun sejak awal,” ujar dia.

Hasil kajian BRIN ini belum sepenuhnya dikomunikasikan kepada Otorita IKN. Namun, Laras berharap media dapat menjadi saluran agar hasil riset sampai ke pengambil kebijakan.

“Ini adalah data awal yang bisa digunakan untuk menyusun strategi lebih lanjut. Riset berbasis satelit akan terus kami lanjutkan untuk memantau perkembangan 5-10 tahun ke depan,” ujar dia.

Dengan kondisi eksisting yang masih jauh dari ideal, pembangunan IKN menuntut strategi pengelolaan air yang komprehensif.

“Kondisi saat ini memang kurang, tetapi masih bisa diperbaiki. Pertanyaannya tinggal bagaimana langkah konkretnya dan seberapa besar biaya yang bersedia dikeluarkan,” kata Laras.

Saksikan Live infoPagi :

Usulan Solusi: Hutan Kota-Sponge City