Pernah membayangkan jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor tapi bukan buat lihat bunga atau pohon? Kali ini, wisatawan justru diajak menengok sisi lain Kebun Raya Bogor makam-makam Belanda peninggalan era kolonial.
Di kawasan Kebun Raya Bogor, terdapat sejumlah makam peninggalan era kolonial Belanda yang hingga kini masih menyimpan banyak cerita sejarah. Salah satu yang paling mencolok adalah makam dengan nisan terbesar di area tersebut, milik seorang tokoh penting bernama Aprins.
Seorang pemandu wisata dari Jakarta Good Guide, Ara menjelaskan bahwa hampir seluruh makam di area ini merupakan makam orang-orang Belanda. Beberapa di antaranya mengalami kerusakan akibat faktor alam, seperti tertimpa pohon tumbang.
Salah satu nisan bahkan terlihat hancur cukup parah, menunjukkan bagaimana usia dan kondisi lingkungan turut memengaruhi kelestarian situs bersejarah tersebut.
Makam Aprins menjadi perhatian utama karena ukurannya yang besar dan simbol-simbol yang terukir di atas nisannya. Aprins diketahui pernah menjabat sebagai pejabat pelaksana tugas (plt) gubernur pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, apabila terjadi kekosongan jabatan gubernur, biasanya akan diisi oleh plt selama sekitar enam bulan.
Dalam sejarahnya, Aprins tercatat pernah dua kali menjabat sebagai plt. “Aprins ini adalah seorang plt gubernur di zaman pemerintahan jadi kalo dulu tuh kalau misalkan pemilihan gubernur general gubernur baru mereka ada masa vakumnya dulu 6 bulan biasanya diisi sama plt 2 kali,” kata Ara.
Selain itu, Aprins juga memiliki jabatan penting sebagai Vice President Raad van Nederlandsch-Indië, atau wakil presiden pengadilan tinggi Hindia Belanda. Ia meninggal dunia pada tahun 1867, dan dimakamkan di Kebun Raya Bogor dengan nisan yang hingga kini masih dapat dikenali.
Yang menarik, pada nisan tersebut terdapat simbol-simbol yang mengindikasikan bahwa Aprins merupakan anggota Freemason. Simbol seperti bintang, ular yang menggigit, serta obor terbalik menjadi penanda yang cukup jelas.
Meski demikian, pemandu menjelaskan bahwa simbol utama Freemason sebenarnya adalah jangka dan penggaris, bukan simbol-simbol lain yang kerap dikaitkan dengan sekte atau organisasi rahasia. Freemason sendiri pada awalnya merupakan perkumpulan tukang batu dan tukang kayu di Eropa.
Namun, di Indonesia, anggotanya kebanyakan berasal dari kalangan elite yang memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan, seni, dan kegiatan filantropi. Keanggotaan Freemason umumnya terbatas pada orang-orang kaya dan berpengaruh.
“Kalau di Indonesia, syaratnya harus orang kaya dan pengusaha,” kata Ara.
Hingga kini, simbol jangka dan penggaris masih digunakan oleh organisasi yang dianggap memiliki akar sejarah serupa, seperti Rotary Club. Dalam ajaran Freemason, terdapat pula simbol mata yang melambangkan keyakinan bahwa setiap aktivitas manusia selalu berada dalam pengawasan Tuhan.
Simbol ini berbeda dengan konsep “mata satu” yang sering dikaitkan dengan Illuminati. Struktur organisasi Freemason memiliki tingkatan, dengan jabatan tertinggi disebut Grand Master.
Seseorang yang ingin bergabung harus melalui proses wawancara dan seleksi ketat, termasuk penilaian latar belakang dan status sosial. Di Indonesia, sejumlah tokoh besar tercatat pernah menjadi anggota Freemason, di antaranya Raden Saleh, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, Raden Said Sukanto (Kapolri pertama Republik Indonesia), Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, Sri Paduka Paku Alam VII, serta keluarga bangsawan seperti Tumenggung Sumitro Kolopaking.
Keanggotaan ini menunjukkan bahwa Freemason pada masa itu memang didominasi oleh kalangan bangsawan dan elite dengan gelar kebangsawanan. Keberadaan makam-makam Belanda di Kebun Raya Bogor tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah kolonial, tetapi juga membuka ruang bagi pengunjung untuk memahami dinamika kekuasaan, elitisme, dan jaringan sosial pada masa Hindia Belanda.






