Simak kisah Adhyastha Swarna Prasraya Mahanipna atau akrab dipanggil Asta, dalang cilik yang gigih melestarikan budaya Nusantara.
Asta yang masih berusia 11 tahun menapaki dunia pedalangan sejak bangku SD. Ketertarikannya pada wayang menjadi langkah untuk melestarikan kebudayaan Indonesia.
Di tengah arus budaya populer dan media sosial yang tak pernah lepas dari tangan anak-anak, Adhyastha Swarna Prasraya Mahanipna, atau yang akrab disapa Asta, justru menemukan dunianya pada seni tradisi.
Bocah kelas 5 sekolah dasar ini memilih pedalangan dan tari klasik sebagai ruang bermain, belajar, sekaligus menjaga budaya Indonesia.
Ketertarikan Asta pada dunia wayang berawal dari hal sederhana. Ia sering menonton konten pedalangan di TikTok, salah satunya milik dalang kondang Ki Seno Nugroho. Dari sanalah rasa penasaran Asta tumbuh.
Suatu hari, sang ayah membawa pulang wayang dari sebuah acara di alun-alun. Sejak saat itu, wayang tak lagi sekadar tontonan, melainkan menjadi bagian dari keseharian Asta.
Minat itu terus berlanjut hingga bangku kelas 3 SD. Di sekolah, Asta sempat menjadi perhatian guru karena kebiasaannya memainkan kemoceng seolah-olah sedang mendalang. Bagi Asta, benda apa pun bisa menjadi wayang, selama imajinasi dan kecintaannya pada seni tetap hidup.
Keseriusan Asta kemudian diarahkan dengan bergabung di Sanggar Padepokan Saritomo, Karanganyar, Solo. Di tempat itu dia belajar berbagai aspek seni pedalangan, mulai dari pementasan wayang, seni musik dan karawitan, seni tari, dan seni budaya lainnya.
Sanggar menjadi ruang penting bagi Asta untuk mengenal budaya bukan hanya sebagai pertunjukan, tetapi juga sebagai pengetahuan dan mimpi.
Kecintaannya pada dunia pedalangan bukan sekadar hobi sesaat. Asta sudah menanamkan cita-cita besar sejak dini.
“Saya sangat tertarik sama seni wayang dan dalang sejak lama, jadi saya bercita-cita untuk terus meneruskan dan melestarikannya sampai akhir hayat,” ujar Asta kepada infoTravel, Rabu (17/12/2025).
Asta bahkan menyanyikan salah satu syair pedalangan yang telah ia pelajari, yakni Tembang Asmorondolo (Asmaradana). Syair tersebut mengandung pesan sederhana namun penuh makna yaitu “Jangan tidur sore-sore, karena jika tidur sore, bangunnya akan linglung.”
Bagi Asta, pedalangan bukan hanya seni pertunjukan, tetapi juga media penyampai nilai dan nasihat kehidupan.
Hobi sederhananya ini membawanya sampai ke panggung pedalangan dan berhasil menggelar berbagai pentas pedalangan di berbagai kegiatan adat hingga acara nasional. Asta dikenal sebagai dalang cilik yang turut melestarikan budaya wayang Nusantara.
Atas dedikasinya di bidang seni tradisi, Asta menerima penghargaan kategori anak dalam bidang pedalangan dan tari klasik dari Kementerian Kebudayaan dalam ajang Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2025.
Tak hanya berkarya, Asta juga menyampaikan pesan kepada teman-teman seusianya. “Teman-teman harus tetap semangat belajar dan cari ilmu sebanyak-banyaknya. Ayo cintai budaya Indonesia, karena itu bagian dari kita,” pesannya.
Kisah Asta menjadi pengingat bahwa budaya Indonesia tidak selalu bertahan lewat buku sejarah atau upacara seremonial. Di tangan generasi muda seperti Asta, budaya hidup melalui rasa ingin tahu, ketekunan, dan keberanian untuk mencintai warisan leluhur di tengah zaman yang terus berubah.
