Kisah Bule Belanda Peduli Anak Sumbawa, Berawal dari Backpacking ke Lombok

Posted on

Tak semua bule berbuat onar di Indonesia. Ada juga yang peduli terhadap anak-anak terlantar, seperti kisah bule Belanda yang berawal saat backpacking ke Lombok.

Chaim Joel Fetter bukan bule biasa. Kisahnya bisa menjadi inspirasi buat traveler. Nyaris 20 tahun lalu, Fetter adalah seorang pengusaha internet sukses di Belanda.

Namun, kepergiannya ke Indonesia di tahun 2004 mengubah jalan hidupnya. Saat itu, Fetter melakukan perjalanan backpacking di Lombok.

Saat sedang backpacking, Fetter bertemu dengan Adi, seorang bocah laki-laki yang mengemis di lampu merah. Adi kehilangan kedua orang tuanya. Dia tinggal di bawah selembar terpal sendirian.

“Saat itu hati ini seperti ditinju. Saya tidak bisa melupakan Adi saat pulang ke rumah. Apa artinya kesuksesan yang saya genggam kalau masih ada anak-anak seperti Adi yang menderita?” kenang Fetter.

Namun saat itu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia lalu kembali ke Belanda. Di Negeri Kincir Angin, ia kemudian menjual perusahaannya dan kembali ke Indonesia.

Fetter merasa terinspirasi dengan kemurahan hati dan kehangatan orang-orang Islam yang ditemuinya di Lombok. Ia lalu memeluk agama Islam.

“Bahkan keluarga yang sangat miskin berbagi sedikit dari apa yang mereka miliki. Masuk Islam rasanya seperti menemukan keluarga dan makna hidup yang lebih dalam,” ujar dia.

Pada tahun 2006, ia bersama istri dan beberapa teman kemudian mendirikan Yayasan Peduli Anak dan membuka Pusat Kesejahteraan Anak pertama di Lombok.

Seiring dengan meningkatnya anak terlantar di daerah terpencil, di tahun 2019 Yayasan Peduli Anak kemudian memperluas misinya ke Sumbawa, sebuah pulau indah tapi aksesnya serba terbatas dan punya banyak anak terlantar.

“Ini sangat memilukan. Kami mendengar anak-anak yang ditinggal karena orangtuanya menikah lagi atau pergi merantau untuk bekerja. Ada yang tidur di gubuk terbengkalai. Bahkan, ada yang tidak makan berhari-hari,” tambah Fetter.

Fetter bukan bule pertama yang peduli terhadap Indonesia. Ada juga Frederik Neust, bule Jerman yang membuat gerakan memungut sampah di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat. Dia merasa malu dan sedih karena pantai cantik itu kotor akibat sampah yang berserakan.

“Jika kamu tinggal di sini (Indonesia), kamu harus melakukan timbal balik. Meskipun hanya dengan 2 tangan, kamu bisa melakukannya. Indonesia sangat indah, kita jangan cuma mengeluh ‘ah tempat ini kotor’, tapi harus bergerak juga, membersihkannya,” papar Frederik yang berprofesi sebagai digital marketer.

Neust juga peduli dengan edukasi. Bahkan, ia juga tergabung dalam komunitas yang bergerak di bidang edukasi bernama 1.000 guru. Menurutnya, Indonesia juga sangat potensial dan butuh tunjangan untuk belajar.

“Di Indonesia banyak orang cerdas, hanya saja sarana dan fasilitasnya kurang memadai,” tuturnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *