Lapangan Banteng: Dari Jejak Kolonial ke Panggung Perayaan HUT DKI Jakarta ke-498

Posted on

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta modern, terdapat sebuah ruang terbuka yang menjadi saksi bisu perjalanan bangsa. Lapangan Banteng bukan sekadar taman kota.

Pada masa penjajahan Belanda, Lapangan Banteng dikenal dengan Waterlooplein, ada pula yang menyebutnya sebagai Lapangan Singa. Di tengah lapangan itu terpancang tugu peringatan kemenangan perang antara Belanda atas pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte di Waterloo, Belgia. Nah, di tugu peringatan itu terdapat patung singa di atasnya.

Hanya saja, patung singa itu sangat kecil makanya nama lapangan itu sering diplesetkan menjadi Lapangan Anjing Pudel. Tugu tersebut dirobohkan pada zaman pemerintahan pendudukan tentara Jepang pada 1942.

Setelah kemerdekaan, semangat dekolonisasi diwujudkan dengan mengubah nama lapangan menjadi Lapangan Banteng, sebuah simbol nasionalisme yang menggantikan simbol penjajahan. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, lapangan itu mengalami transformasi penting.

Pada 1963, berdirilah Monumen Pembebasan Irian Barat, patung monumental karya Edhi Sunarso yang menggambarkan sosok pria melepaskan belenggu rantai, menandai keberhasilan diplomasi Indonesia membebaskan Papua dari tangan Belanda. Patung tersebut dirancang oleh Gubernur DKI saat itu, Henk Ngantung, dan dibangun oleh arsitek nasional Friedrich Silaban.

Seiring berjalannya waktu, fungsi Lapangan Banteng terus berubah. Pada era 1980-an, lapangan itu sempat menjadi terminal bus kota, kemudian dikembalikan menjadi taman publik pada awal 1990-an.

pada 2016, saat DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dicanangkan revitalisasi total Lapangan Banteng. Revitalisasi itu dilakukan dalam tempo dua tahun pada 2017-2018 dan diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan.

Kepala Bagian Pertamanan Dinas Kehutanan dan Pemakaman DKI Jakarta kala itu, Levi, mengatakan proses revitalisasi di lapangan banteng terbagi menjadi dua komponen, yakni perbaikan pagar dan desktop yang membutuhkan dana kurang lebih Rp 8 milyar, kemudian komponen kedua merupakan perbaikan fasilitas olahraga, air dan taman yang membutuhkan dana sekitar Rp 6,1 milyar.

Revitalisasi Lapangan Banteng tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melainkan dana Kelebihan Pelampauan Nilai KLB.

Dalam revitalisasi itu, DKI menggandeng arsitek Gregorius Antar atau yang dikenal dengan Yori Antar. Oleh Yori, Lapangan Banteng dibagi atas tiga zona, yakni Zona Monumen Pembebasan Irian Barat, Zona Olahraga, dan Zona Hutan Kota. Sejumlah

Oleh sentuhannya, dibuat sejumlah perubahan, seperti adanya danau di bawah Monumen Pembebasan Irian Barat dan tempat duduk keliling di sekitar patung tersebut seperti amfiteater.

Kini, Lapangan Banteng tampil modern dengan fasilitas air mancur menari, taman ramah keluarga, amfiteater terbuka, serta area olahraga. Lapangan Banteng memiliki beragam pohon peneduh, di antaranya mahoni, angsana, dan asem.

Studi dari berbagai perguruan tinggi, seperti ITB dan UGM, menunjukkan bahwa revitalisasi itu berdampak positif terhadap kualitas hidup warga kota, memperkuat ikatan sosial, dan menciptakan sense of place yang kuat.

Nah, Lapangan Banteng menjadi tempat perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) DKI Jakarta yang ke-498 yang jatuh pada Minggu (22/6). Beragam acara Semarak HUT Jakarta digeber di sana, berbagai pertunjukan, pesta kuliner, dan layanan masyarakat menjadi wujud syukur atas perjalanan Jakarta.