Praktik prostitusi yang menyasar wisatawan asing di Jepang kian meningkat setelah konten viral di media sosial. Rupanya, salah satu penyebabnya adalah masalah finansial.
Dikutip dari AFP, Rabu (23/4/2025), praktik prostitusi itu meningkat seiring melemahnya nilai tukar yen yang bersamaan dengan tingginya tekanan ekonomi usai pandemi. Sejumlah perempuan lokal Jepang kini secara terbuka menawarkan layanan seksual di kawasan wisata seperti Taman Okubo yang berada di kawasan di Shinjuku, Tokyo.
Para pekerja seks komersial (PSK) itu sampai-sampai lebih memilih melayani turis asing dibandingkan pria lokal, sebab lebih menguntungkan. Selain tidak banyak menawar, wisatawan juga dianggap lebih aman dari risiko penggerebekan turis polisi yang menyamar.
“Saya lebih memilih klien asing karena mereka tidak menawar dan kecil kemungkinan mereka adalah polisi,” ujar Ria (nama samaran), seorang PSK yang beroperasi secara mandiri di sekitar Taman Okubo, Tokyo.
Ria menyebutkan bahwa tarif layanan berkisar antara 15.000 hingga 30.000 yen (sekitar Rp 1,7 juta hingga Rp 3,5 juta), namun bisa lebih murah tergantung situasi.
Dia mengatakan untuk mempermudah komunikasi dengan turis asing itu dia menggunakan aplikasi penerjemah saat bernegosiasi dengan turis dari Korea Selatan, China, hingga Amerika Serikat, dan Eropa.
PSK lainnya, Azu (19), mengatakan bisa memperoleh hingga 20.000 yen (sekitar Rp2,4 juta) per jam untuk layanan dengan kondom. Dia menyebut penurunan daya beli masyarakat lokal membuat klien domestik lebih banyak menawar dan enggan membayar harga penuh.
Sementara itu, laporan investigasi dari Japan Today mengungkapkan adanya keterlibatan calo dan germo dalam menawarkan jasa seksual perempuan Jepang kepada turis asing.
Seorang reporter dari majalah Shukan Post menemukan praktik ini berlangsung di kawasan hiburan malam Kabukicho, Shinjuku. Dalam salah satu kasus, seorang turis asing dibawa ke lantai enam sebuah gedung untuk menerima layanan seksual yang diklaim “bernuansa Jepang”.
Polisi Tokyo menangkap Kazuki Sudo (54), pemilik toko seks bernama Sparaku yang secara terbuka melayani turis asing belum lama ini. Sudo mengakui perusahaannya memperoleh pendapatan hingga 1,1 miliar yen, dengan sekitar 60 hingga 70 persen omzet berasal dari wisatawan.
Dalam penggerebekan, polisi menemukan uang dari 16 negara, termasuk dolar AS, yuan, dan peso.
Sparaku disebut merekrut pekerja dari kalangan pelacur jalanan di Taman Okubo. Namun, akibat peningkatan patroli polisi sejak Oktober tahun lalu, banyak dari mereka pindah ke lokasi tersembunyi untuk menghindari razia.
Melemahnya yen disebut sebagai salah satu pemicu lonjakan wisata seks di Jepang. Tarif layanan seksual menjadi relatif murah bagi turis asing, sementara operator jasa sering kali menetapkan harga lebih tinggi bagi mereka.
“Sudah pasti turis asing akan dikenakan biaya 20.000 hingga 30.000 yen. Beberapa germo bahkan dapat membujuk mereka untuk membayar 100.000 yen untuk satu jam,” kata salah satu karyawan toko alat-alat seks tanpa disebut namanya.
Menurut Arata Sakamoto, kepala organisasi nirlaba Rescue Hub, banyak perempuan muda yang masuk industri seks karena tekanan ekonomi setelah pandemi. Beberapa korban mengalami kekerasan, pelecehan digital, hingga direkam tanpa izin dan tidak dibayar. “Sebagian dari mereka mengalami gangguan fisik dan mental,” ujarnya.
Lonjakan wisatawan yang mencari pengalaman seksual juga dipicu oleh konten viral di media sosial seperti TikTok dan Bilibili. Banyak dari mereka datang dengan pengetahuan tentang layanan dewasa Jepang dan siap membayar lebih untuk layanan khusus.
Meskipun prostitusi secara hukum dilarang di Jepang, banyak praktik yang berjalan di celah legalitas, seperti layanan panggilan atau toko hiburan dewasa yang menggunakan istilah samar.