Di tengah kawasan padat penduduk Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, berdiri sebuah bangunan bersejarah yang kini menjadi ikon arsitektur Islam di Indonesia.
Masjid Jami Al Fajri. Masjid ini dikenal sebagai rumah ibadah di Tanah Air yang secara menyeluruh menerapkan gaya arsitektur Kesultanan Utsmaniyah, gaya yang berkembang pada masa kejayaan Imperium Bizantium dan mencapai puncaknya pada abad ke-17 di Turki.
Desainnya terinspirasi langsung dari Masjid Sultan Ahmed atau Blue Mosque di Istanbul, salah satu karya monumental dunia Islam. Meskipun tampil begitu megah dalam wujudnya saat ini, perjalanan panjang Masjid Jami Al Fajri bermula dari bangunan sederhana yang didirikan pada tahun 1947 di Kampung Grobogan, nama lama dari wilayah Pejaten Barat.
Renovasi besar kemudian dilakukan pada 1965 dan berlanjut pada 1972 hingga akhirnya rampung sekitar 1978. Perubahan-perubahan ini mengikuti dinamika lingkungan sekitar yang kian berkembang pesat.
Seiring kebutuhan jemaah yang semakin besar, pembangunan total kembali dilakukan sejak Maret 2017 untuk menghadirkan masjid yang tidak hanya layak, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan estetika tinggi.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Ketua Panitia Renovasi Tatang Hidayat menjelaskan bahwa tonggak penting pembaruan masjid dimulai pada 2016 ketika jemaah mencapai kesepakatan untuk melakukan revitalisasi menyeluruh.
Proses perizinan sesuai Pergub Nomor 12 Tahun 2012 mengenai pendirian rumah ibadah dilakukan selama satu tahun.
“Setelah melalui berbagai tahap legalitas, kami berhasil memperoleh IMB dan barulah pada 2017 pembangunan Masjid Jami Al Fajri dimulai,” jelasnya.
Jejak sejarah masjid ini juga tak lepas dari tokoh-tokoh penting wilayah Pejaten. Diceritakan bahwa salah satu pemilik tanah di kawasan tersebut, Habib Husein bin Ja’far bin Alwi bin Muhammad Al Haddad, pernah didorong oleh masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah masjid.
Pembangunan kemudian diawasi langsung oleh putranya, Habib Muhammad yang akrab disapa Haji Muhammad oleh warga. Dari sinilah masjid yang awalnya dikenal sebagai Masjid Kampung Grobogan mulai berdiri dan berkembang.
Renovasi besar pada 2017 dilakukan dengan pendekatan ilmiah dan teknis yang matang. Tim arsitek dari Universitas Indonesia dikirim langsung untuk mempelajari struktur Blue Mosque di Istanbul, sehingga detail arsitektur Ottoman yang diadopsi dapat diterapkan secara akurat dan kokoh. Kemegahan hasil renovasi ini tidak lepas dari biaya besar yang dialokasikan.
Pemugaran masjid diperkirakan menelan anggaran keseluruhan mencapai Rp 32,9 miliar, sementara alokasi utama renovasi sekitar Rp 17 miliar. Dana tersebut berasal dari wakaf, infaq, sedekah jariah, bantuan masyarakat, dukungan pemerintah, serta kontribusi sejumlah lembaga swasta. Tatang Hidayat menegaskan bahwa peran masyarakat menjadi pilar terkuat dalam pembangunan.
“Kontribusi terbesar justru datang dari warga yang setiap hari menyisihkan uang belanja mereka melalui kotak-kotak amal. Dukungan itu mengalir terus menerus, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun,” ungkapnya.
Ia menyebutkan bahwa semangat gotong royong masyarakat menjadi energi utama yang mempercepat proses pembangunan. “Masyarakat sangat antusias. Mereka ingin melihat masjid ini segera berdiri megah. Pembangunan ini dirasakan benar-benar lahir dari kecintaan warga terhadap rumah ibadah mereka,” ujarnya.
Kini, Masjid Jami Al Fajri bukan hanya tempat ibadah, tetapi saksi perjalanan sejarah panjang sebuah komunitas, wujud kebanggaan warga Pejaten Barat, dan simbol hadirnya arsitektur Ottoman di Indonesia. Dengan akar sejarah yang kuat dan tampilan yang megah, masjid ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan gotong royong dapat menghasilkan karya yang abadi.
