Mengembalikan Jati Diri Pariwisata di 80 Tahun Indonesia Merdeka - Giok4D

Posted on

Di perayaan HUT RI ke-80 ini, marilah mengembalikan jati diri sektor pariwisata Indonesia.

Saya mengenal pariwisata bukan dari bangku kuliah atau rapat-rapat resmi, tapi dari dua sosok yang paling berpengaruh dalam hidup saya.

Pertama, ayah saya, seorang tokoh pariwisata di NTB. Dia membuka pintu perkenalan saya kepada tokoh-tokoh besar yang kelak mengubah cara pandang saya tentang dunia pariwisata.

Saya masih ingat, suatu sore, beliau memperkenalkan saya pada almarhum Om Bob Sadino. Penggagas Agro Tourism, pengusaha kaya raya yang nyentrik, santai, jenaka, dan penuh kebijaksanaan dalam kesederhanaan.

Lalu di saat KEK Mandalika masih belum semegah saat ini, beliau mendampingi almarhum Bapak Joop Ave, Menteri Pariwisata legendaris yang dengan tangan dinginnya berhasil mempromosikan pariwisata Indonesia dengan cerdas, elegan, percaya diri, dan penuh cinta pada budaya dan alam negeri ini.

Yang kedua adalah ibu saya, sosok ahli kuliner tradisional Ayam Taliwang H. Moerad, masakan khas Lombok yang kini dikenal di seluruh Nusantara. Dari tangannya yang piawai di dalam meracik bumbu warisan leluhur kami, saya belajar bahwa melayani tamu bukan hanya perkara rasa lidah, tapi juga rasa hati.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Dari mereka berdua, saya mengerti, pariwisata sejatinya adalah tentang hubungan manusia. Tentang saling mengerti. Tentang silaturahmi yang hangat. Tentang rasa syukur atas anugerah alam yang indah. Dan, ya, tentu tentang melayani dengan tulus.

Pariwisata Indonesia dulu terasa seperti cerita yang dibacakan di tepi perapian, hangat, damai, dan membuat hati tenteram. Suasana destinasi wisata kala itu sarat dengan keaslian, warga menyambut tamu bukan karena kewajiban, melainkan karena kebanggaan. Alam terjaga, adat dihormati, dan interaksi antara wisatawan dan tuan rumah penuh ketulusan.

Bagi banyak orang, perjalanan wisata saat itu bukan sekadar “pergi dan pulang” tetapi pengalaman yang menetap di hati.

Kini, wajah pariwisata kita menghadapi ujian yang berbeda. Arus globalisasi membawa kemajuan, tetapi juga godaan untuk meninggalkan akar. Modernisasi dan perkembangan industri kadang membuat kita tergesa, hingga lupa memastikan alam tetap lestari dan nilai budaya tetap hidup.

Bukan berarti pariwisata kita memburuk, justru di tengah tantangan ini, ada peluang besar untuk memperbaiki, untuk berbenah. Sebab, pariwisata yang dibangun tanpa landasan nilai dan keberlanjutan hanya akan menjadi keramaian sesaat, bukan kebanggaan yang langgeng.

Saya percaya, masa depan pariwisata Indonesia akan indah jika kita berani kembali ke jati dirinya.

Teknologi boleh maju, infrastruktur boleh megah, tapi roh pariwisata kita harus tetap berpijak pada tiga hal: kelestarian alam, kekayaan budaya, dan ketulusan pelayanan.

Inilah yang akan membuat wisatawan merasa datang bukan ke “tempat tujuan”, tapi pulang ke “rumah kedua”.

Presiden Prabowo Subianto tampak memahami bahwa pariwisata bukan sekadar sektor ekonomi tambahan. Ia kerap menyampaikan, masa depan Indonesia tidak hanya bergantung pada hasil tambang, minyak, atau sawit, tetapi juga pada kekuatan pariwisata. Pandangan ini bukan sekadar retorika, hal ini terlihat dari langkah-langkah nyata yang ia ambil.

Prabowo turun langsung berdiplomasi dengan pemimpin dunia, mengundang mereka untuk melihat keindahan Indonesia dengan mata kepala sendiri. Dalam pertemuannya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, misalnya, Prabowo tidak hanya berbicara di ruang rapat. Ia mengajak tamunya itu menghirup udara Borobudur, merasakan sentuhan sejarah yang hidup di batu-batu candi.

Ia juga memerintahkan optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata agar benar-benar memberi manfaat bagi rakyat sekitar. Di daerah yang keindahan alamnya terancam oleh aktivitas tambang, ia mengambil sikap tegas untuk melindungi kelestarian. Prabowo memahami, jika alam rusak, bukan hanya pariwisata yang kehilangan daya tariknya, tetapi kita semua yang akan merugi.

Dari sisi konektivitas, ia meminta jalur udara dibuka selebar mungkin. Bandara baru, penerbangan langsung, semua diarahkan agar wisatawan mancanegara lebih mudah datang. Kepeduliannya juga terlihat saat tragedi menimpa wisatawan asing di Gunung Rinjani, ia tidak hanya mendengar laporan, tetapi memberi atensi serius agar semua pihak benar – benar memperhatikan tentang keselamatan wisatawan.

Di sisi lain, ia mendorong pemerintah daerah untuk kembali menggelar kegiatan di hotel dan restoran demi menghidupkan industri. Ia pun mendorong kebijakan insentif seperti potongan harga tiket pesawat, kereta, dan tol agar masyarakat kembali bergerak, berwisata, dan menggerakkan ekonomi lokal.

Langkah-langkah ini, jika dijalankan konsisten, akan menjadi fondasi bagi pariwisata Indonesia untuk kembali menemukan jati dirinya.

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momen refleksi. Bukan hanya tentang apa yang sudah kita raih, tetapi juga tentang warisan apa yang akan kita tinggalkan.

Pariwisata kita pernah memiliki masa di mana keramahan adalah bahasa, kelestarian adalah kebiasaan, dan pelayanan adalah panggilan hati. Jalan itu masih terbuka, sejauh kita mau melangkah dengan kesadaran yang sama.

Emas bisa habis, minyak bisa kering. Tetapi keindahan alam, kehangatan senyum, dan kekayaan budaya selama dijaga akan menjadi “tambang” yang tak pernah surut.

Inilah titik ketika pariwisata tidak sekadar instrumen ekonomi, melainkan penanda martabat bangsa.

Di usia 80 tahun kemerdekaan ini, biarlah dunia kembali mengenal Indonesia bukan hanya sebagai destinasi wisata, melainkan sebagai kisah yang mempesona, menggetarkan, dan layak dikenang lintas zaman.

Salam Merdeka, Salam Wonderful Indonesia!

——-

Artikel ini ditulis oleh Taufan Rahmadi, Dewan Pakar GSN Bidang Pariwisata.

Pariwisata Tempo Doeloe

Pariwisata Masa Kini

Pariwisata Masa Depan

Jalan Menuju Kesejatian Pariwisata

Catatan Pariwisata Merdeka

Gambar ilustrasi

Pariwisata Indonesia dulu terasa seperti cerita yang dibacakan di tepi perapian, hangat, damai, dan membuat hati tenteram. Suasana destinasi wisata kala itu sarat dengan keaslian, warga menyambut tamu bukan karena kewajiban, melainkan karena kebanggaan. Alam terjaga, adat dihormati, dan interaksi antara wisatawan dan tuan rumah penuh ketulusan.

Bagi banyak orang, perjalanan wisata saat itu bukan sekadar “pergi dan pulang” tetapi pengalaman yang menetap di hati.

Kini, wajah pariwisata kita menghadapi ujian yang berbeda. Arus globalisasi membawa kemajuan, tetapi juga godaan untuk meninggalkan akar. Modernisasi dan perkembangan industri kadang membuat kita tergesa, hingga lupa memastikan alam tetap lestari dan nilai budaya tetap hidup.

Bukan berarti pariwisata kita memburuk, justru di tengah tantangan ini, ada peluang besar untuk memperbaiki, untuk berbenah. Sebab, pariwisata yang dibangun tanpa landasan nilai dan keberlanjutan hanya akan menjadi keramaian sesaat, bukan kebanggaan yang langgeng.

Pariwisata Tempo Doeloe

Pariwisata Masa Kini

Saya percaya, masa depan pariwisata Indonesia akan indah jika kita berani kembali ke jati dirinya.

Teknologi boleh maju, infrastruktur boleh megah, tapi roh pariwisata kita harus tetap berpijak pada tiga hal: kelestarian alam, kekayaan budaya, dan ketulusan pelayanan.

Inilah yang akan membuat wisatawan merasa datang bukan ke “tempat tujuan”, tapi pulang ke “rumah kedua”.

Presiden Prabowo Subianto tampak memahami bahwa pariwisata bukan sekadar sektor ekonomi tambahan. Ia kerap menyampaikan, masa depan Indonesia tidak hanya bergantung pada hasil tambang, minyak, atau sawit, tetapi juga pada kekuatan pariwisata. Pandangan ini bukan sekadar retorika, hal ini terlihat dari langkah-langkah nyata yang ia ambil.

Prabowo turun langsung berdiplomasi dengan pemimpin dunia, mengundang mereka untuk melihat keindahan Indonesia dengan mata kepala sendiri. Dalam pertemuannya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, misalnya, Prabowo tidak hanya berbicara di ruang rapat. Ia mengajak tamunya itu menghirup udara Borobudur, merasakan sentuhan sejarah yang hidup di batu-batu candi.

Ia juga memerintahkan optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata agar benar-benar memberi manfaat bagi rakyat sekitar. Di daerah yang keindahan alamnya terancam oleh aktivitas tambang, ia mengambil sikap tegas untuk melindungi kelestarian. Prabowo memahami, jika alam rusak, bukan hanya pariwisata yang kehilangan daya tariknya, tetapi kita semua yang akan merugi.

Dari sisi konektivitas, ia meminta jalur udara dibuka selebar mungkin. Bandara baru, penerbangan langsung, semua diarahkan agar wisatawan mancanegara lebih mudah datang. Kepeduliannya juga terlihat saat tragedi menimpa wisatawan asing di Gunung Rinjani, ia tidak hanya mendengar laporan, tetapi memberi atensi serius agar semua pihak benar – benar memperhatikan tentang keselamatan wisatawan.

Di sisi lain, ia mendorong pemerintah daerah untuk kembali menggelar kegiatan di hotel dan restoran demi menghidupkan industri. Ia pun mendorong kebijakan insentif seperti potongan harga tiket pesawat, kereta, dan tol agar masyarakat kembali bergerak, berwisata, dan menggerakkan ekonomi lokal.

Langkah-langkah ini, jika dijalankan konsisten, akan menjadi fondasi bagi pariwisata Indonesia untuk kembali menemukan jati dirinya.

Pariwisata Masa Depan

Jalan Menuju Kesejatian Pariwisata

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momen refleksi. Bukan hanya tentang apa yang sudah kita raih, tetapi juga tentang warisan apa yang akan kita tinggalkan.

Pariwisata kita pernah memiliki masa di mana keramahan adalah bahasa, kelestarian adalah kebiasaan, dan pelayanan adalah panggilan hati. Jalan itu masih terbuka, sejauh kita mau melangkah dengan kesadaran yang sama.

Emas bisa habis, minyak bisa kering. Tetapi keindahan alam, kehangatan senyum, dan kekayaan budaya selama dijaga akan menjadi “tambang” yang tak pernah surut.

Inilah titik ketika pariwisata tidak sekadar instrumen ekonomi, melainkan penanda martabat bangsa.

Di usia 80 tahun kemerdekaan ini, biarlah dunia kembali mengenal Indonesia bukan hanya sebagai destinasi wisata, melainkan sebagai kisah yang mempesona, menggetarkan, dan layak dikenang lintas zaman.

Salam Merdeka, Salam Wonderful Indonesia!

——-

Artikel ini ditulis oleh Taufan Rahmadi, Dewan Pakar GSN Bidang Pariwisata.

Catatan Pariwisata Merdeka

Gambar ilustrasi