Muncul Wacana Perubahan Nama Sumatera Barat Jadi Daerah Istimewa Minangkabau

Posted on

Wacana perubahan nama provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau sudah terdengar sejak beberapa tahun lalu. Bagaimana perkembangannya sekarang?

Pada tahun 2021 silam, anggota DPR RI dari Komisi II, Guspardi Gaus mendorong rencana perubahan nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau.

Guspardi Gaus menilai perubahan nama daerah yang bersifat khusus dan istimewa itu dimungkinkan karena telah termaktub dalam Pasal 18 B Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

“Langkah serius dari Tim Kerja Badan Persiapan Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau (BP2DIM) dibuktikan dengan telah rampungnya Naskah Akdemik (NA) tentang Daerah Istimewa Minangkabau. Ini merupakan sebuah langkah positif dan maju,” kata Guspardi kala itu.

Namun menurut Prof Asrinaldi, pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat harus mempunyai alasan khusus apabila ingin mengusulkan Daerah Istimewa (DI) Minangkabau ke pemerintah pusat.

“Harus ada alasan khusus dari Sumatera Barat untuk mengatakan bahwa kita ini memang istimewa,” kata Prof Asrinaldi di Padang, Kamis (24/4/2025) seperti dikutip dari Antara.

Jika Sumbar menjadikan adat, budaya atau sistem kekerabatan matrilineal yang dipakai di Ranah Minang sebagai alasan dan bahan pertimbangan untuk menyebut diri menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM), maka Prof Asrinaldi menilai alasan tersebut belum cukup kuat.

Sebab, menurut dia, semua daerah di Indonesia juga mempunyai kekuatan adat serta budaya yang unik, bahkan khas dan tidak dimiliki oleh provinsi lainnya.

Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, khususnya Pasal 5 huruf C, sudah menjelaskan terkait keistimewaan Sumbar, terutama perihal “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS SBK).

Terkait pertimbangan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) bahwa Provinsi Sumbar yang pernah menjadi Ibu Kota Negara, tepatnya di Kota Bukittinggi pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948 yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara, Prof Asrinaldi menilai itu bisa saja menjadi bahan pertimbangan, namun masih membutuhkan kajian akademis yang mendalam.

“Kalau alasannya dulu kita pernah menjadi Ibu Kota Negara pada masa PDRI, saya kira bisa, namun butuh kajian lebih komprehensif,” ujarnya.

Sebab, menurut penulis buku berjudul “Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia” tersebut, selama ini tidak ada keistimewaan yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat terkait hal itu.

Oleh karena itu, jika Sumbar tetap ingin mengusulkan Daerah Istimewa Minangkabau maka membutuhkan riset serta pelibatan para sejarawan yang lebih komprehensif.

Secara terpisah, Ketua LKAAM Provinsi Sumbar, Fauzi Bahar mengatakan terdapat beberapa alasan kuat untuk mengajukan DI Minangkabau ke pemerintah pusat, di antaranya sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan dari pihak ibu yang dianut masyarakat Minangkabau menjadi sebuah keistimewaan tersendiri.

Kemudian, dari sisi historis, Tanah Minangkabau memiliki keterikatan yang kuat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Selain Wakil Presiden pertama yang berasal dari Sumbar, Kota Bukittinggi juga pernah tercatat sebagai Ibu Kota Negara yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara pada masa PDRI.

Purnawirawan TNI AL tersebut menyampaikan LKAAM bersama pihak terkait sedang menyusun atau berencana mengusulkan DI Minangkabau kepada pemerintah pusat. Menurut dia, langkah tersebut dinilai tepat mengingat historis dan keunikan yang dimiliki oleh Tanah Minangkabau.