Taman Safari Indonesia (TSI) angkat bicara terkait tudingan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap anak-anak yang pernah tergabung di Oriental Circus Indonesia (OCI). TSI menegaskan bahwa bukan pihak yang terlibat dalam kasus tersebut dan menyayangkan adanya upaya pencemaran nama baik institusi mereka.
Dalam wawancara eksklusif bersama infoSore, Kamis (17/4/2025), Legal & Corporate Secretary TSI, Bara Tamardi Kusno, juga menjelaskan bahwa antara TSI dan OCI adalah dua entitas yang berbeda, baik secara legal maupun operasional.
“OCI berdiri sejak 1967 dan berhenti beroperasi pada sekitar tahun 1997. Sementara Taman Safari berdiri pada 1981 dan hingga kini masih fokus di bidang konservasi satwa. Tidak pernah ada hubungan bisnis atau kerja sama antara TSI dan OCI,” kata Bara.
Bara mengatakan kesalahpahaman publik terjadi karena ada tokoh bernama Tony Sumampau yang terlibat dalam dua entitas itu. Namun ia menegaskan, kesamaan pemilik atau keluarga bukan berarti dua perusahaan tersebut saling berkaitan secara hukum.
Sebagai contoh, ia menyebut perusahaan Matahari Department Store dan Bank Nobu yang dimiliki oleh keluarga yang sama, namun berdiri sebagai entitas bisnis yang independen.
“Bahkan pertunjukan sirkus OCI pun tidak pernah diselenggarakan di dalam kawasan Taman Safari,” kata Bara.
Bara mengungkapkan bahwa TSI sempat menerima somasi dari kuasa hukum delapan orang yang mengaku sebagai mantan anak-anak sirkus. Somasi tersebut menuntut kompensasi hingga Rp 3,1 miliar, meski tidak disertai bukti keterlibatan langsung TSI dalam aktivitas sirkus tersebut.
“Setelah kami telusuri, mereka bukan karyawan kami, dan kami tidak memiliki catatan pernah mempekerjakan mereka,” kata Bara.
TSI pun telah membalas somasi itu secara resmi, menyatakan bahwa mereka bukan pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Kini, TSI tengah mempertimbangkan upaya hukum untuk melindungi reputasi perusahaan yang merasa dirugikan oleh tuduhan yang salah alamat tersebut.
Sementara itu, Tony Sumampau yang disebut-sebut sebagai sosok di balik OCI juga memberikan klarifikasinya. Dalam acara infoSore, dia hadir secara daring.
Dalam tayangan live menyatakan bahwa tuduhan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada OCI merupakan bentuk distorsi informasi.
Tony mengungkapkan bahwa pada 1997, OCI memang pernah diperiksa oleh Komnas HAM terkait laporan perlakuan terhadap anak-anak sirkus. Namun saat itu, pihak OCI langsung bekerja sama dengan Komnas HAM dan menjalankan seluruh rekomendasi yang diberikan.
“Semua anak kami berikan pendidikan formal. Kami juga menyewa guru-guru dan mendirikan kelas. Bahkan Komnas HAM memberikan sertifikasi waktu itu,” kata Tony.
Dia prihatin karena anak-anak yang dulu pernah dibina oleh OCI kini melayangkan tudingan serius yang tidak berdasar. Dia mengatakan tindakan yang dituduhkan kepada OCI sangat tidak masuk di akal dan tidak manusiawi.
“Itu kok bisa disampaikan oleh anak-anak itu dan saya tidak ngerti gitu. Seperti itu sih pikiran saya sih. Tidak benar ya, itu hanya ada yang menghasut kayaknya di belakang itu,” kata Tony.
Tony kemudian menceritakan kronologi soal tudingan yang tidak sekali ini dilayangkan kepada OCI.
“Oh bagus sekali kalau dilaporkan ke kepolisian. Itu kan jadi clear ya. Bisa clear secara hukum ya. Kita senang sekali kalau itu mereka melapor untuk secara hukum,” kata Tony.
“Karena selama ini, kami baru tahu, sejak tahun 1997 mungkin saya tahu ya. Mereka ada yang melapor ke Komnas. Pada saat itu saya sendiri yang hadir juga di Komnas HAM gitu ya. Bertemu dengan Baharudin Loppa, dengan Muladi pada saat itu kan di Komnas ya. Saya ketemu dan Komnas ada rekomendasi terus membentuk tim,” kata Tony.
Tony lantas menjelaskan rekomendasi Komnas HAM saat itu.
“Setelah itu, kita cari asal-usul orang tua mereka gitu ya. Terus sampai sejauh itu terus ada rekomendasi juga kepada anak-anak yang masih ada. Jangan homeschooling aja tapi ada juga pendidikan formal di sekolah. Nah itu sudah kita laksanakan,” ujar dia.
“Tim yang mencari asal-usul anak-anak itu, ya. Itu susah didapat meskipun saat itu sudah ada pihak dari Komnas juga ikut. Dari mungkin nanti kalau itu ada Pak Hamdan Zulfa juga ikut waktu itu mencari gitu ya. Memang sulit kan anak-anak itu berasal dari satu panti asuhan yang memang panti asuhannya dibilang resmi atau nggak resmi gitu. Tapi adanya di sekitar, kalau 97 itu di Kalijodo ya. Di Kalijodo, di Jakarta. Jadi anak-anak itu kan susah lah. Bapaknya pasti nggak ada yang mengaku ya. Ibunya juga kan orang-orang itu,” dia membeberkan.
“Kamis sebetulnya nggak mau menyampaikan itu karena itu akan mungkin dirasakannya sangat sakit oleh anak-anak gitu ya. Saya pikir itu. Tapi ya untuk memperjelas saja, kejadian itu sesungguhnya begitu. Itu pun sudah pernah disampaikan di Komnasan tahun 97 ya. Nah sejak itu nggak pernah lagi ada. Ada lagi hal-hal lain gitu ya,” kata Tony.
“Nah, apa rekomendasi dari Komnasan sudah kita jalankan juga. Cuma waktu itu cuma apa ya, secara resmi mereka bukan saja homeschooling, tapi secara resmi mereka dimasukkan ke dalam sekolah SMP, SD, SMP gitu ya. Seperti itu dan sebagian juga sudah lulus SMP gitu,” kata dia lagi.
Tony menduga ada pihak ketiga yang memprovokasi para mantan anak didiknya untuk menyerang secara hukum.
“Kami tidak ingin membawa ini ke jalur hukum terhadap mereka (pelapor), karena mereka pernah dalam naungan kami. Tapi kami akan cari siapa aktor intelektualnya,” katanya.
Tony juga menegaskan bahwa OCI sudah berhenti beroperasi sejak awal 2000-an karena berbagai kendala, termasuk sulitnya mendapatkan lokasi pertunjukan dan perubahan tren hiburan masyarakat.
TSI berharap publik tidak mencampuradukkan nama besar lembaga konservasi satwa dengan sirkus yang sudah tidak beroperasi selama lebih dari dua dekade. Bara menyebut pentingnya klarifikasi langsung ke OCI jika ingin menelusuri akar masalah.
“Nama kami dicatut, reputasi kami dirugikan. Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk tindakan hukum jika diperlukan,” ujar dia.