Perjalanan jauh ke Yogyakarta selalu meninggalkan dua hal lelah di badan dan rindu yang enggan pulang. Mobil malam membawa saya melintasi kota demi kota, menyimpan kenangan di setiap perjalanan.
Namun sebelum benar-benar meninggalkan Jogja, ada satu ritual yang rasanya tidak boleh dilewatkan yaitu membeli oleh-oleh. Siang itu, saya berjalan menyusuri toko-toko bakpia yang berjejer rapi.
Kotaknya tertata, aromanya halus, tidak menyergap, tapi cukup untuk membuat langkah melambat. Bakpia mungkin terdengar sederhana, tapi di Jogja, ia adalah cerita yang dibungkus rapi.
Di salah satu toko, saya berhenti. Penjualnya ramah, bertanya dengan logat yang hangat. “Buat oleh-oleh, Mbak?” ujarnya, seolah sudah tahu tujuan kedatangan setiap orang yang masuk.
Saya mengangguk. Hampir semua orang yang datang ke Jogja, katanya, pulang membawa bakpia entah untuk orang rumah, tetangga, atau sekadar alasan untuk bilang aku baru dari Jogja. Bakpia di sini bukan sekadar kue.
Ia menjadi jembatan antara perjalanan dan rumah. Di balik kulitnya yang lembut dan isian yang manis, ada cerita tentang langkah kaki yang jauh, tentang kota yang ramah, tentang waktu yang ingin diperpanjang tapi harus berakhir.
Saya memilih beberapa kotak, memasukkannya ke tas dengan hati-hati. Bukan karena harganya, melainkan karena maknanya. Bakpia adalah cara paling sederhana untuk membawa pulang rasa Jogja tanpa perlu menjelaskan panjang lebar tentang Malioboro, angkringan, atau malam yang hangat.
Di perjalanan pulang, tas terasa lebih berat, tapi hati justru ringan. Bakpia itu seperti penanda bahwa perjalanan memang sudah selesai, tapi kenangannya masih bisa dibagi. Sesampainya di rumah, kotak-kotak itu dibuka.
Ada senyum kecil, ada pertanyaan ringan, “Dari Jogja, ya?” Saat bakpia disantap, Jogja hadir kembali di ruang tamu yang jauh dari kota asalnya. Rasanya mungkin sama, tapi ceritanya berbeda. Di situlah kekuatan oleh-oleh bekerja.
Ia membawa pulang bukan hanya makanan, tapi pengalaman, perjalanan, dan kerinduan yang diselipkan diam-diam. Jogja mungkin tertinggal di belakang, tapi lewat bakpia, sebagian kecil darinya ikut pulang. Dan setiap gigitan, perjalanan itu seolah dimulai kembali.
—
Artikel ini merupakan kiriman pembaca infoTravel. Anda bisa mengirim cerita perjalanan Anda
