Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menilai pemerintah belum menempatkan sektor pariwisata sebagai prioritas utama. Menurutnya, sejak Indonesia merdeka, pariwisata hanya dianggap sebagai pelengkap pembangunan, bukan sebagai pilar utama ekonomi nasional.
“Sejak republik ini berdiri, pariwisata tidak pernah menjadi program utama dari pemerintahan yang ada. Dari dulu hingga sekarang, pariwisata selalu diperlakukan sebagai program pelengkap,” ujar Hariyadi dalam konferensi pers yang digelar secara hybrid, Minggu (12/10/2025).
Hariyadi menjelaskan dalam undang-undang yang mengatur kementerian negara, pariwisata tidak termasuk ke dalam sektor yang dianggap penting. Akibatnya, pariwisata tidak masuk dalam kategori prioritas nasional. Hal ini berdampak pada kewenangan kementerian yang terbatas dan anggaran yang kecil.
“Kalau dilihat dari tatanan Undang-Undang Kementerian Negara, pariwisata itu tidak termasuk dalam domain yang penting karena tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Implikasinya, karena bukan prioritas, kewenangannya terbatas dan otomatis anggarannya juga terbatas,” kata dia.
Menurut Hariyadi, kondisi tersebut membuat Indonesia sering tertinggal dibanding negara tetangga seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia. Padahal, jika dilihat dari potensi alam dan budaya, Indonesia jauh lebih unggul.
Ia mengungkapkan bahwa saat proses amandemen Undang-Undang Kepariwisataan dimulai, GIPI sempat optimistis perubahan tersebut akan memperkuat industri pariwisata nasional. Namun, hasil akhirnya justru mengecewakan karena banyak hal penting yang diusulkan pelaku industri tidak terealisasi.
Kekecewaan semakin dalam ketika GIPI dihapus dari bab Undang-Undang Kepariwisataan yang baru. Padahal, organisasi ini merupakan wadah koordinasi antara berbagai asosiasi pelaku usaha pariwisata di Indonesia.
“Kami sudah berjuang keras untuk membesarkan industri pariwisata, tapi justru induk organisasinya dihapus dari undang-undang,” kata Hariyadi.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Ia menilai penghapusan GIPI akan menyulitkan koordinasi antar pelaku industri. Menurutnya, keberadaan GIPI di dalam undang-undang memberikan legitimasi kuat untuk berkoordinasi dengan pemerintah maupun antar asosiasi.
“Kalau GIPI tidak disebut dalam undang-undang, tentu koordinasi jadi lebih sulit. Selama ini, karena disebut di undang-undang, pelaku industri merasa punya wadah dan kemudahan untuk berkolaborasi,” ujar dia.
Selain itu, Hariyadi juga menyayangkan masih dicantumkannya Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) dalam undang-undang yang baru. Ia menilai lembaga tersebut sudah lama tidak aktif dan tidak efektif menjalankan fungsinya.
“BPPI itu sebenarnya sudah tidak aktif sejak masa Menteri Arief Yahya, dan sampai sekarang tetap tidak ada. Sudah melewati empat menteri – Pak Arief, Pak Wishnutama, Pak Sandiaga Uno, dan Bu Widiyanti, tapi BPPI tidak pernah berjalan lagi,” kata dia.
Hariyadi berharap pemerintah bisa lebih serius menjadikan pariwisata sebagai sektor strategis nasional, bukan sekadar pelengkap pembangunan. Ia juga meminta agar pelaku industri dilibatkan lebih aktif dalam penyusunan kebijakan, sehingga arah pengembangan pariwisata Indonesia bisa lebih jelas dan berkelanjutan.