Menjelajahi Sumatera Barat tidak cukup hanya dengan melihat legenda Batu Malin Kundang di Padang, ada juga Danau Diatas yang tak kalah memesona.
Di Sumatera Barat, wisatawan bisa mengunjungi landmark Jam Gadang di Bukittinggi, atau mengagumi megahnya Istana Pagaruyung di Batusangkar.
Namun jika memiliki waktu lebih, sebaiknya Anda menyempatkan diri menikmati keelokan danau-danau di daerah Solok. Salah satunya yang terkenal adalah Danau Diatas.
Warga Sumatera Barat biasa menyebutnya dengan ‘Danau Diateh’ (dalam bahasa Minang, ‘ateh’ berarti ‘atas’). Membicarakan Danau Diatas tak akan lepas dari telaga wisata lainnya, yaitu Danau Dibawah.
Kedua danau ini telah lama dikenal sebagai Danau Kembar, karena letaknya yang berdekatan di daerah Alahan Panjang, kabupaten Solok. Danau Diatas maupun Danau Dibawah merupakan objek wisata dengan keindahan alam yang luar biasa.
Namun, dilihat dari lokasinya, Danau Diatas yang sepertinya lebih banyak dikunjungi wisatawan. Terlebih, wisatawan dapat menikmati keindahannya sampai turun ke batas bibir danau.
Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi Danau Diatas. Ini adalah kali kedua saya menyambangi kota Solok, untuk berwisata ke danau ini. Perjalanan darat sekitar tiga jam dari Bukittinggi, tidak terasa melelahkan karena indahnya pemandangan alam yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan.
Menyusuri Danau Singkarak yang begitu luas, mengagumi pemandangan petak-petak sawah yang tertata rapi “berbingkai” bukit nan hijau, atau hamparan kebun teh yang menyejukkan mata.
Saya masih ingat kesan saat kunjungan pertama saya di sekitar pertengahan tahun 2018. Rutenya sedikit berbeda, namun saya disuguhi “lukisan” alam yang sama-sama menakjubkan.
Suasana Danau Diatas sendiri baru bisa saya nikmati melalui kawasan wisata Alahan Panjang, yang saya temukan melalui aplikasi Google Maps. Lokasi yang saya datangi itu sepertinya menjadi satu-satunya spot yang direkomendasikan untuk menikmati panorama Danau Diatas.
Saat itu, sebenarnya saya agak bertanya-tanya. Mengapa kawasan wisata ini terlihat sepi? Hanya rombongan saya saja yang datang. Saya sempat berpikir bahwa mungkin saja karena saat itu bukanlah hari libur.
Saya pun menjumpai sebuah bangunan kecil yang sepertinya menjadi gerbang penyambutan tamu. Tidak ada petugas di sana. Sebuah portal terbuka di sebelahnya, yang saya yakini sebagai penanda, bahwa kawasan tersebut boleh dimasuki.
Beberapa meter melewati gerbang, saya melihat beberapa bangunan kosong. Desainnya sendiri terlihat seperti bangunan di era 80-an. Sepertinya, kawasan ini cukup mentereng di masanya.
Namun saat itu, saya melihat bangunan-bangunan tersebut terbengkalai, tak terawat. Sepertinya, dulu kawasan ini menjadi zona wisata yang lengkap karena menyediakan fasilitas penginapan, kantin, kamar mandi umum, ruang rapat, sampai sarana kegiatan-kegiatan outbound.
Saat itu, tak terlihat satupun orang yang datang selain saya dan keluarga. Menikmati pesona alam yang “disajikan” suasana Danau Diatas itu, rasanya seperti menemukan salah satu hidden gem-nya Sumatera Barat.
Tak hanya indah, namun juga asri. Sangat mempesona. Kesan itu yang tertanam kuat dalam benak saya, membentuk memori yang tak terlupa.
Keinginan untuk kembali mengunjungi Danau Diatas pun akhirnya terwujud beberapa bulan yang lalu. Saya punya pengharapan kuat bahwa saat ini, empat tahun setelah kunjungan pertama, akan meninggalkan impresi yang sama seperti yang saya rasakan sebelumnya. Namun ternyata saya mendapatkan kesan yang berbeda.
Saya datang bersama teman-teman. Saat itu, sekitar waktu makan siang ketika kami sampai di sana. Bangunan sederhana di gerbang itu masih ada, dengan portal terbuka disebelahnya.
Tulisan “Kawasan Objek Wisata Danau Kembar Alahan Panjang Kabupaten Solok”, terpampang jelas di atap bangunan tersebut. Berbeda dengan kala pertama, saat itu ada seorang penjaga yang menghuninya. Ia tersenyum, menyapa kami.
Tiket masuk yang diberlakukan saat itu adalah lima ribu rupiah, per pengunjung. Sementara kendaraan tidak dikenakan biaya. Melewati gerbang, saya melihat ada beberapa perubahan yang cukup mencolok.
Daerah di sekitar danau mulai dipenuhi deretan warung bertenda biru, yang menjual beraneka makanan dan minuman. Sepertinya tempat ini memang sudah lebih banyak didatangi wisatawan, dibandingkan empat tahun lalu. Namun ada beberapa hal yang patut disayangkan.
Pertama, sampah-sampah yang tidak hanya bertumpuk di beberapa spot, tapi juga terekspos sampai ke tepian danau. Masalah klasik ini sepertinya belum bisa diantisipasi oleh pihak pengelola.
Kedua, warung pedagang yang menurut saya masih bisa ditata dengan lebih baik lagi. Sebaiknya mereka dibuatkan tempat permanen yang apik, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Ketiga, keberadaan bangunan-bangunan tua yang terlihat kosong dan tak terurus. Setelah 4 tahun saya kembali lagi ke kawasan ini, saya sempat membayangkan bangunan-bangunan tersebut kembali ke fungsi sebelumnya yaitu penginapan, ruang pertemuan, atau kantin. Atau siapa tahu, mereka telah “tersulap” menjadi bangunan heritage unik yang dijadikan kafe-kafe kekinian.
Namun saat itu, kondisinya masih seperti dulu. Pengamatan saya, hanya ada 1 bangunan yang dimanfaatkan sebagai WC umum. Selebihnya ya terabaikan. Kondisi ini justru menimbulkan kesan yang tidak mengenakkan bagi saya.
Jika terus dibiarkan, saya khawatir ketiga hal tersebut suatu saat bisa menodai keelokan yang telah “tersaji”. Semoga saja kondisi ini bisa segera tertangani, supaya pesona danau ini tidak ikut terabaikan.