Polemik Warung di Wisata Jatiluwih, Bupati & Akademisi: Warga Harus Dilibatkan

Posted on

Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya turun tangan menanggapi aksi petani yang menutupi sawah dengan seng dan plastik hitam di Kawasan Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali. Dia bersikukuh meminta warga bisa merasakan manfaat pariwisata di kawasan Warisan Budaya Dunia UNESCO itu.

Sanjaya mengatakan para petani yang selama ini merawat dan menjaga hamparan sawah Jatiluwih dengan keistimewaan subak tersebut. Sudah sepantasnya warga mendapatkan manfaat secara ekonomi dari sawah itu.

“Para petani yang menjaga sawah Jatiluwih hanya ingin menjadi bagian dari pariwisata. Pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat harus memikirkan bagaimana masyarakat lokal bisa ikut merasakan manfaat itu,” ujar Sanjaya di sela pembukaan Soekarno Cup di GOR Ngurah Rai, Denpasar, dikutip dari infoBali, Minggu (7/12/2025).

Pernyataan itu disampaikan setelah para petani memasang puluhan lembar seng dan plastik hitam di beberapa titik di sawah-sawah di kawasan wisata Jatiluwih. Pemandangan sawah berterasering yang menjadi ikon wisata Jatiluwih pun tertutup dan tak lagi terlihat dari beberapa sudut.

Sanjaya menyebut aksi itu lahir dari rasa kecewa karena adanya kesenjangan antara sektor pariwisata dan pertanian.

“Mereka menjaga sawah, menjaga wilayah. Tapi kondisi sektor pertanian memang terbatas, sehingga ketimpangan ini muncul. Kami tetap berupaya menjaga situasi tetap kondusif,” kata Sanjaya.

Sebelumnya, Pansus TRAP DPRD Bali menemukan 13 bangunan usaha di Jatiluwih yang melanggar aturan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Pansus kemudian memerintahkan agar bangunan-bangunan tersebut dibongkar.
Satpol PP Bali telah memanggil para pemilik usaha untuk memeriksa administrasi dan izin bangunan mereka.

“Kami sudah memberikan tiga kali surat peringatan. Sekarang kami panggil pemilik usaha untuk pemeriksaan administrasi. Tiga bangunan kami dahulukan karena sudah kami pasangi police line,” kata Kepala Satpol PP Bali, I Dewa Nyoman Rai Dharmadi.

Dia menegaskan bahwa langkah selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan.

“Kami hanya menjalankan rekomendasi Pansus dan memastikan izin yang ada sesuai ketentuan,” dia menambahkan.

Aksi pemasangan seng oleh petani dan warga di Jatiluwih itu membuat sejumlah agen travel membatalkan kunjungan destinasi wisata dengan panorama sawah terasering tersebut.

Manajer DTW Jatiluwih I Ketut Purna mengatakan ada belasan agen travel membatalkan kunjungan seusai ramainya pemberitaan aksi protes petani dan warga di Jatiluwih.

“Hari ini sudah lebih dari 10 travel agent membatalkan kunjungan ke Jatiluwih. Mereka mempertimbangkan faktor keselamatan,” ujar Ketut Purna atau akrab disapa Jhon, Jumat (5/12).

Jhon menyatakan akan menyurati Badan Pengelola DTW Jatiluwih untuk meminta solusi. Dia menegaskan bahwa pemasangan seng bukan kewenangan manajemen operasional.

“Saya akan kirim surat ke Badan Pengelola agar persoalan ini benar-benar diperhatikan dan ditindaklanjuti. Tugas kami sebagai manajemen pengelola adalah menjaga pariwisata, memastikan tamu datang dan kembali datang,” kata dia.

Sementara itu, pemerhati pertanian Universitas Udayana (Unud), I Made Sarjana, mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali membentuk Badan Pengelola WBD untuk menyusun perencanaan pengelolaan subak Jatiluwih.

“Seharusnya DPRD Bali mewajibkan Gubernur bikin Badan Pengelola WBD, karena tidak ada masterplan pengelolaan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih,” ujar Sarjana.

“Makanya pengusaha lokal membangun tempat usaha dengan sistem coba-coba,” kata pria yang juga menjabat sebagai ketua Lab Subak dan Rekayasa Agrowisata Fakultas Pertanian Unud itu.

Sarjana lantas menjelaskan perkembangan kawasan Jatiluwih yang berlangsung secara alamiah dan tanpa arah pengelolaan yang jelas. Pembangunan akomodasi wisata sepenuhnya bergantung pada keinginan masing-masing pemilik lahan. Maka, kini lanskap kawasan yang seharusnya dijaga justru kerap terabaikan.

Sarjana mengatakan kondisi itu membuat setiap bangunan berdiri dengan standar estetika berbeda-beda. Dia menilai pola pikir serupa yang dianut banyak pemilik lahan inilah yang kemudian memunculkan kesan semrawut.

“Yang ada sekarang kan pendapat masyarakat atas pertimbangan situasional. Karena ada permintaan wisatawan terkait makan dan minum di area sawah, ya dibangun warung dengan mengalihfungsikan kandang sapi,” ujar Sarjana.

Dia menegaskan sudah saatnya Pemprov Bali secara tegas, melalui WBD itu, menetapkan tiga zona kawasan subak Jatiluwih. Yakni, terdiri dari zona 1 yang meliputi kawasan subak lestari yang tidak boleh dialihfungsikan.

Kemudian, zona 2 untuk fasilitas dasar pariwisata seperti jalan setapak atau jogging track serta tempat istirahat yang dibuat dari bahan ramah lingkungan. Setelah itu, zona 3 untuk bangunan fasilitas pariwisata seperti lahan parkir, restoran, dan toko suvenir.

“Dulu pernah ada ide zona 3 di atas sekitar areal Pura Pucak Petali. Tapi, ini belum terwujud. Saya juga tidak tahu masalahnya apa,” kata Sarjana.

Sarjana menyarankan Pemprov Bali untuk segera berdialog dengan warga terdampak di Jatiluwih. Menurutnya, Pemprov Bali bersama DPRD Bali tidak bisa hanya menyetop usaha warga yang dinilai melanggar tata ruang tanpa memberi solusi.

“Intinya saya mendesak agar dibentuk Badan Pengelola WBD dan perencanaan yang komprehensif,” ujar dia.

***

Selengkapnya klik di

13 Bangunan Melanggar Aturan Tata Ruang

Agen Travel Batalkan Wisata

Disarankan Berdialog dengan Warga dan Tegas soal Tata Ruang

Aksi pemasangan seng oleh petani dan warga di Jatiluwih itu membuat sejumlah agen travel membatalkan kunjungan destinasi wisata dengan panorama sawah terasering tersebut.

Manajer DTW Jatiluwih I Ketut Purna mengatakan ada belasan agen travel membatalkan kunjungan seusai ramainya pemberitaan aksi protes petani dan warga di Jatiluwih.

“Hari ini sudah lebih dari 10 travel agent membatalkan kunjungan ke Jatiluwih. Mereka mempertimbangkan faktor keselamatan,” ujar Ketut Purna atau akrab disapa Jhon, Jumat (5/12).

Jhon menyatakan akan menyurati Badan Pengelola DTW Jatiluwih untuk meminta solusi. Dia menegaskan bahwa pemasangan seng bukan kewenangan manajemen operasional.

“Saya akan kirim surat ke Badan Pengelola agar persoalan ini benar-benar diperhatikan dan ditindaklanjuti. Tugas kami sebagai manajemen pengelola adalah menjaga pariwisata, memastikan tamu datang dan kembali datang,” kata dia.

Sementara itu, pemerhati pertanian Universitas Udayana (Unud), I Made Sarjana, mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali membentuk Badan Pengelola WBD untuk menyusun perencanaan pengelolaan subak Jatiluwih.

“Seharusnya DPRD Bali mewajibkan Gubernur bikin Badan Pengelola WBD, karena tidak ada masterplan pengelolaan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih,” ujar Sarjana.

“Makanya pengusaha lokal membangun tempat usaha dengan sistem coba-coba,” kata pria yang juga menjabat sebagai ketua Lab Subak dan Rekayasa Agrowisata Fakultas Pertanian Unud itu.

Sarjana lantas menjelaskan perkembangan kawasan Jatiluwih yang berlangsung secara alamiah dan tanpa arah pengelolaan yang jelas. Pembangunan akomodasi wisata sepenuhnya bergantung pada keinginan masing-masing pemilik lahan. Maka, kini lanskap kawasan yang seharusnya dijaga justru kerap terabaikan.

Sarjana mengatakan kondisi itu membuat setiap bangunan berdiri dengan standar estetika berbeda-beda. Dia menilai pola pikir serupa yang dianut banyak pemilik lahan inilah yang kemudian memunculkan kesan semrawut.

“Yang ada sekarang kan pendapat masyarakat atas pertimbangan situasional. Karena ada permintaan wisatawan terkait makan dan minum di area sawah, ya dibangun warung dengan mengalihfungsikan kandang sapi,” ujar Sarjana.

Dia menegaskan sudah saatnya Pemprov Bali secara tegas, melalui WBD itu, menetapkan tiga zona kawasan subak Jatiluwih. Yakni, terdiri dari zona 1 yang meliputi kawasan subak lestari yang tidak boleh dialihfungsikan.

Kemudian, zona 2 untuk fasilitas dasar pariwisata seperti jalan setapak atau jogging track serta tempat istirahat yang dibuat dari bahan ramah lingkungan. Setelah itu, zona 3 untuk bangunan fasilitas pariwisata seperti lahan parkir, restoran, dan toko suvenir.

“Dulu pernah ada ide zona 3 di atas sekitar areal Pura Pucak Petali. Tapi, ini belum terwujud. Saya juga tidak tahu masalahnya apa,” kata Sarjana.

Sarjana menyarankan Pemprov Bali untuk segera berdialog dengan warga terdampak di Jatiluwih. Menurutnya, Pemprov Bali bersama DPRD Bali tidak bisa hanya menyetop usaha warga yang dinilai melanggar tata ruang tanpa memberi solusi.

“Intinya saya mendesak agar dibentuk Badan Pengelola WBD dan perencanaan yang komprehensif,” ujar dia.

***

Selengkapnya klik di

Agen Travel Batalkan Wisata

Disarankan Berdialog dengan Warga dan Tegas soal Tata Ruang