Saatnya Music Tourism Jadi Gerbang Baru Pariwisata Indonesia

Posted on

Konser bukan lagi sekadar hiburan, tapi alasan baru orang datang berwisata. Konser menjadi magnet kuat bagi wisatawan asing dan menggerakkan wisatawan domestik, sekaligus bikin ekonomi kreatif lebih hidup dan branding sebuah kota.

Konsep pariwisata berbasis musik (music tourism) di Indonesia diusung oleh Kementerian Pariwisata bukan baru-baru ini, melainkan saat Kemenpar dipimpin oleh Arief Yahya. Festival musik tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat untuk membangun citra kota dan branding kota.

Melalui festival musik, kota-kota di Indonesia dapat memperkenalkan identitas budaya dan keindahan alam mereka, menarik wisatawan, dan meningkatkan perekonomian lokal. Berkaca kepada Nashville, Austin (Texas), Memphis, dan New Orleans menunjukkan bagaimana musik dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi pariwisata.

Liverpool di Inggris membuktikan bahwa melalui wisata musik bisa menjadi branding kota. Ya, Liverpool dulunya dikenal sebagai kota industri dan pelabuhan, namun krisis ekonomi pada 1960-1980-an akibat otomatisasi pabrik mendorong kota itu mencari sumber ekonomi baru.

Pemerintah kota pun mengandalkan wisata musik, memanfaatkan status Liverpool sebagai kampung halaman The Beatles. Bandara pun dinamai John Lennon Airport. Liverpool berhasil, kota itu dinobatkan sebagai World Capital City of Pop oleh Guinness World Records 2001.

Sementara itu, Glastonbury Festival di Inggris menjadi salah satu festival musik outdoor terbesar dan tertua di dunia. Festival ini tak hanya jadi acuan banyak acara serupa, tapi juga dikenal mengusung semangat pelestarian alam dan kearifan lokal, karena digelar di lahan pertanian bernama Worthy Farm.

UNWTO pada 2018 menyebut bahwa wisata musik mencakup semua aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan dan motivasi utama perjalanan tersebut berkaitan dengan musik.

Wisata musik bisa berupa perjalanan khusus (seperti menghadiri festival musik) atau aktivitas yang memperkaya pengalaman wisatawan, misalnya menikmati penampilan musisi jazz di restoran lokal. Musik yang diintegrasikan dengan baik dapat menciptakan pengalaman wisata yang berfokus pada warisan budaya, keberagaman, dan kearifan lokal.

Gairahnya semakin menyala seiring dibentuknya Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf) yang dipimpin oleh Triawan Munaf.

Di saat itu pula harga tiket penerbangan dan hotel relatif terjangkau. Agen Travel Online (OTA) juga kerap obral promo tiket, hotel, bahkan paket wisata.

Barekraf ditutup dan digabungkan dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadikan konser sebagai pariwisata juga turut naik turun, kendati pasar juga memegang kendali buat gelaran konser.

Upaya kemenparekraf cukup ‘terlihat’ saat menghidupkan wisata konser atau wisata musik saat pandemi mulai surut namun belum usai. Kemenparekraf menggelar sejumlah konser dan festival musik untuk mengembalikan Bali pascapandemi.

Contohnya, pada masa pandemi, Kemenparekraf mendukung konser berkonsep ‘drive-in’ bertajuk Bali Revival: New Era Festival yang digelar di Rooftop Parkir Monkey Forest, Ubud, Gianyar. Konser itu memungkinkan penonton menikmati pertunjukan musik dari dalam kendaraan masing-masing, sejalan dengan protokol kesehatan yang berlaku saat itu.

Selain itu, Kemenparekraf juga mendukung penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB), sebuah festival seni tahunan yang menampilkan berbagai pertunjukan seni dan budaya Bali.

PKB ke-43, yang berlangsung hingga 10 Juli 2021, merupakan bagian dari program Kharisma Event Nusantara (KEN) 2021 yang bertujuan menggerakkan kembali roda perekonomian di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, terutama di bidang event.

Dari laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sepanjang 2024, perputaran ekonomi dari kurang lebih 3.000 konser musik bertaraf daerah, menengah, nasional, dan internasional di Indonesia mencapai USD 11 miliar atau sekitar Rp 178 triliun. Melalui konser itu tercipta 250 ribu lapangan kerja.

Sebagai contohnya adalah Hammersonic Festival, yang merupakan hajatan musik metal terbesar yang ada di Asia Tenggara. CEO Ravel Entertaiment, Emmanulle Ravelius Donald Junardy, menjelaskan Hammersonic yang digagasnya itu mempunyai peran penting dalam mendukung pariwisata Indonesia.

“Festival musik seperti Hammersonic memiliki peran strategis dalam mendukung pariwisata Indonesia, terutama dalam menarik wisatawan mancanegara yang memiliki ketertarikan terhadap musik rock dan metal,” kata Ravel kepada infotravel belum lama ini.

“Musik adalah bahasa universal, dan ketika festival seperti ini menghadirkan line-up internasional, itu menjadi magnet yang kuat bagi penonton luar negeri. Mereka bukan hanya datang untuk menikmati musik, tapi juga merasakan pengalaman budaya Indonesia secara keseluruhan. Saya dan Hammersonic Festival bangga untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia,” kata dia.

Halaman berikutnya : PR Music Tourism buat Kemenpar

Melihat potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia terkait pariwisata berbasis musik, Ravel menyampaikan perbandingannya sektor ini yang belum tereksekusi secara maksimal.

Salah satunya, Indonesia beberapa kali keok dipukul Singapura dan Bangkok soal urusan konser dan festival musik. Contohnya, saat Coldplay manggung enak hari beruntun pada 2024, Jakarta cuma kebagian satu hari. Kemudian, Taylor Swift dengan skor 0-6, ya, Jakarta tidak kebagian sehari The Eras Tour pada 2024.

Kemudian, peristiwa memalukan dengan aksi pemalakan oleh oknum polisi di Djakarta Warehouse Project atau DWP, yang merupakan salah satu festival musik elektronik terbesar di Asia pada 13 hingga 15 Desember 2024 di JIExpo, Kemayoran. Korbannya adalah penonton luar negeri.

Kasus itu menjadi pukulan telak bagi industri musik Tanah Air. Sebab, kasus itu menurunkan kepercayaan internasional dan reputasi Indonesia di mata penyelenggara musik internasional dan penonton mancanegara. Bagi promotor musik Indonesia, membangun kembali kepercayaan ini memerlukan waktu dan strategi khusus.

Masalah lain adalah venue konser. Stadion yang memadai bisa jadi tidka hanya satu, namun akses menjadi kendala di bebera lokasi. Sejauh ini, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menjadi lokasi paling ideal untuk menggelar konser musik. Bagi konser yang lebih kecil bisa memilih di spot lain di kompleks olahraga yang dibangun oleh Presiden RI 1 Sukarno itu, Tennis Indoor, Stadion Madya, atau Indonesia Arena, bahkan di area terbuka plaza timur, barat, dan tenggara.

Di kompleks GBK, parkir luas, akses mudah, transportasi umum memadai, penerangan jalan dan kawasan cukup, hotel banyak, tinggal tunjuk.

Bandingkan dengan Jakarta International Stadium (JIS) di Tanjung Priok atau Jiexpo dan Ancol. Saat tiba di lokasi mungkin tidak masalah, namun akses menuju tempat-tempat itu tidak semewah SUGBK.

Masalah lain adalah gangguan dari kelompok ormas atau penolakan karena alasan sosial budaya. Beberapa konser, terutama yang dianggap terlalu barat atau berunsur budaya asing, kadang mendapat penolakan dari kelompok tertentu yang menganggapnya tidak sesuai norma.

Dalam evaluasi kemenparekraf saat dipimpin Sandiaga, muncul pula masalah perizinan yang rumit dan berbelit. Proses pengajuan izin konser sering kali memakan waktu lama dan melibatkan banyak instansi, mulai dari kepolisian, pemda, hingga dinas pariwisata. Tak jarang izin baru keluar mendekati hari H, sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Kemudian, overkapasitas dan manajemen kerumunan buruk. Selain itu, kurangnya regulasi soal keselamatan dan kesehatan penonton, mulai dari jalur evakuasi, tim medis yang memadai, hingga kesediaan keamanan profesional.

Terbaru, kekacauan terjadi pada onser DAY6 bertajuk Forever Young di Jakarta. Konser yang dihelat pada 3 Mei 2025 itu panen masalah, mulai dari perpindahan venue mendadak, cuaca buruk, dan manajemen acara yang buruk.

Penggemar dibiarkan menunggu berjam-jam di luar stadion di tengah hujan deras dan angin kencang tanpa perlindungan memadai, menyebabkan tenda-tenda roboh dan penundaan konser. JYP Entertainment selaku agensi DAY6 serta promotor lokal Mecimapro telah menyampaikan permintaan maaf resmi atas kejadian tersebut

Belakangan, meskipun lambat, upaya untuk menghidupkan konser dan festival musik mulai terbentuk. Efek dominonya diharapkan turut menghidupkan pariwisata. Siapa tahu ini bisa menjadi salah satu cara untuk menggantikan acara MICE yang berkurang drastis setelah pemerintah melakukan efisiensi anggaran.

Salah satu festival musik yang konsisten digeber di Indonesia adalah Hammersonic Festival atau Hammersonic Jakarta International Metal Festival atau singkatnya Hammer Fest. Sebagai sebuah festiva musik internasional tahunan yang diselenggarakan di Jakarta sejak 2012, Hammersonic bukan festival kaleng-kaleng.

Penampil yang dipilih pun beragam hingga band sekaliber Lamb of God, Suffocation, D.R.I hingga Slipknot pernah manggung di hajatan tersebut. Tak ayal banyak metalhead dari mancanegara percaya dan mereka pun rela terbang dari negaranya untuk hadir menyaksikan keganasan mereka di atas panggung.

Selain itu, kultur di Indonesia diyakini menjadi poin plus untuk menarik wisatawan dari konser dan festival musik.

“Indonesia memiliki keunikan dari sisi budaya, keramahan masyarakat hingga kekayaan destinasi yang bisa dikemas dalam satu pengalaman menyeluruh lewat mudik,” ujar Ravel.

“Dulu, mungkin belum tergarap maksimal tapi sekarang dengan digitalisasi dan keterbukaan akses, kita punya peluang emas untuk menjadikan musik sebagai salah satu pintu masuk pariwisata yang kuat,” kata dia.

PR Besar Pengembangan Music Tourism di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *