Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Bali Nusa Tenggara merampungkan kegiatan pemeliharaan situs batu pahat yang dikenal dengan candi tebing Wadu Pa’a.
“Kegiatan itu berlangsung selama empat hari mulai 11 Juni-14 Juni 2025, sebagai tindak lanjut dari hasil studi konservasi yang telah dilakukan pada April lalu,” kata ketua tim konservasi Ni Wayan Karolina di Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia mengatakan pemeliharaan situs bertujuan menghambat gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi akibat faktor internal maupun eksternal, serta menjaga kondisi fisik situs agar tetap lestari dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Dengan kondisi fisik yang terawat, katanya, cagar budaya batu pahat bisa bertahan lebih lama dan bisa diwariskan ke generasi mendatang. Situs batu pahat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, dan pengembangan pariwisata.
Balai Pelestarian Kebudayaan melakukan empat tahapan konservasi dimulai dengan pembersihan mekanis kering untuk menghilangkan debu dan kotoran dari permukaan relief, pembersihan tradisional menggunakan minyak emulsi serei wangi yang disemprotkan secara hati-hati.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Selanjutnya, pembersihan mekanis basah guna mengangkat sisa lumut dan debu pasca-penyemprotan dan terakhir tahap konsolidasi, yakni penguatan material tanah dan batu yang mulai rapuh agar lebih kokoh dan tidak mudah rusak.
Pada April lalu, timnya sudah melakukan pendataan keterawatan relief, pengumpulan data lingkungan sekitar situs, serta dokumentasi kondisi terkini yang menjadi dasar perencanaan tindakan konservasi.
“Hasilnya tim menemukan adanya kerusakan pada relief batu yang disebabkan oleh pelapukan biologis seperti tumbuhnya lumut dan jamur, serta pelapukan fisik akibat cuaca dan perubahan suhu,” ucapnya.
Karolina menekankan pentingnya pelestarian situs bersejarah mengingat Wadu Pa’a adalah salah satu situs penting di Bima yang memiliki nilai historis tinggi.
“Kami berupaya menjaga agar relief yang ada tidak semakin rusak oleh faktor alam. Setiap tahapan dilakukan secara hati-hati dan sesuai standar konservasi nasional,” ujarnya.
Balai Pelestarian Kebudayaan menyatakan partisipasi masyarakat sekitar sebagai penting dalam menjaga kelestarian situs.
Tim konservasi yang bertugas melalukan pemeliharaan berjumlah empat orang, yakni Ni Wayan Karolina, Dewa Made Suastika, I Nyoman Sumertha, dan I Wayan Gede Juliana.
Situs Wadu Pa’a memiliki beberapa bentuk pahatan relief agama Hindu-Buddha, seperti Dewa Ganesha, Sang Buddha, Chattra, Lingga, hingga Siwa Mahaguru.
Setiap pahatan relief menandakan bahwa Wadu Pa’a dahulu menjadi lokasi untuk pemujaan Hindu bercampur dengan Buddha yang diperkirakan ada pada abad ke-11 Masehi.