Semenjak pemerintah China mengeluarkan larangan bepergian ke Jepang, efeknya begitu terasa pada pariwisata Jepang. Banyak pembatalan pemesanan hotel dan penurunan penjualan di pusat perbelanjaan.
Dilansir dari Straits Times, Jumat (19/12/2025) banyak pengusaha yang khawatir situasi ini terus berlanjut menjelang liburan Tahun Baru Imlek pada bulan Februari mendatang.
“Banyak warga China telah membatalkan pemesanan mereka. Kami telah menurunkan tarif akomodasi kami untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu,” kata operator sebuah hotel di Distrik Nakagyo, Kyoto, pada 17 Desember.
Operator tersebut mengatakan tarif kamar telah dipotong sekitar 10 persen dari Desember 2024. Tarif hotel di Kyoto telah terus meningkat sejak 2024, karena peningkatan permintaan pariwisata setelah Covid-19 dan efek Expo Osaka-Kansai 2025. Namun, permintaan dari pengunjung China anjlok akhir-akhir ini, memaksa hotel di Kyoto untuk menurunkan tarifnya.
“Jika situasi ini berlanjut hingga Tahun Baru Imlek, dampaknya akan semakin parah,” kata operator hotel tersebut.
Pengunjung dari China daratan dan Hong Kong bersama-sama menyumbang 28 persen dari seluruh wisatawan ke Jepang dari Januari hingga November 2025. Selama periode ini, jumlah wisatawan China yang datang ke Jepang melonjak sebesar 37,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024.
Namun, pertumbuhan tersebut turun menjadi hanya 3 persen pada bulan November. Penerbangan antara China dan Jepang telah dikurangi dan kapal pesiar membatalkan pemberhentian di pelabuhan Jepang. Dan hingga saat ini, hubungan bilateral kedua negara belum juga membaik.
Selain hotel, industri ritel mengeluhkan juga penurunan yang mereka alami, imbas imbauan pemerintah China tersebut. Penjualan bebas bea di toserba Takashimaya antara 1 dan 14 Desember turun 9,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024. Penjualan dari pelanggan China menurun sebesar 23,9 persen. Mengingat pelanggan China menyumbang lebih dari 40 persen penjualan bebas pajak, hilangnya mereka berdampak besar pada kinerja perusahaan.
Pasca Covid-19, Jepang mengalami peningkatan jumlah pengunjung yang stabil. Kebiasaan belanja turis pun terlihat semakin beragam.
Sebelumnya, turis senang berbelanja besar-besaran, tetapi sekarang lebih banyak yang mencari pengalaman yang memungkinkan mereka menikmati budaya Jepang. Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan jumlah pengunjung asing tahunan menjadi 60 juta pada tahun 2030, dengan pengeluaran mereka mencapai 15 triliun yen (S$124,3 miliar). Saat ini, kemajuan yang baik sedang dicapai dalam mencapai target ini.
Meskipun demikian, masih ada kekhawatiran besar, terutama di dalam industri pariwisata, tentang memburuknya hubungan antara Jepang dan China ini. Menurut survei bisnis yang dilakukan oleh Teikoku Databank pada tanggal 5 hingga 9 Desember, sebanyak 42,8% responden mengatakan bahwa imbauan pemerintah China akan berdampak negatif terhadap perekonomian Jepang.
Mau tak mau, Jepang harus berganti strategi supaya efek penurunan turis China ini tidak terlalu berdampak besar. Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengatakan akan memperkuat kampanye promosi yang akan mendorong orang-orang dari berbagai negara untuk mengunjungi Jepang.
Seorang ekonom senior di Mizuho Research & Technologies, Takeshi Higashifukasawa, setuju dengan rencana tersebut. Pemerintah Jepang harus berani ambil risiko dan tidak bergantung kepada satu negara saja.
“Pemerintah harus mencoba untuk menyebar risiko, daripada hanya bergantung pada satu negara. Pemerintah harus mencoba untuk meningkatkan pengeluaran wisatawan dan mengembangkan cara untuk menarik pengunjung kaya dari berbagai daerah,” katanya.
Jepang harus melepas ketergantungan kepada turis China
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Pasca Covid-19, Jepang mengalami peningkatan jumlah pengunjung yang stabil. Kebiasaan belanja turis pun terlihat semakin beragam.
Sebelumnya, turis senang berbelanja besar-besaran, tetapi sekarang lebih banyak yang mencari pengalaman yang memungkinkan mereka menikmati budaya Jepang. Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan jumlah pengunjung asing tahunan menjadi 60 juta pada tahun 2030, dengan pengeluaran mereka mencapai 15 triliun yen (S$124,3 miliar). Saat ini, kemajuan yang baik sedang dicapai dalam mencapai target ini.
Meskipun demikian, masih ada kekhawatiran besar, terutama di dalam industri pariwisata, tentang memburuknya hubungan antara Jepang dan China ini. Menurut survei bisnis yang dilakukan oleh Teikoku Databank pada tanggal 5 hingga 9 Desember, sebanyak 42,8% responden mengatakan bahwa imbauan pemerintah China akan berdampak negatif terhadap perekonomian Jepang.
Mau tak mau, Jepang harus berganti strategi supaya efek penurunan turis China ini tidak terlalu berdampak besar. Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengatakan akan memperkuat kampanye promosi yang akan mendorong orang-orang dari berbagai negara untuk mengunjungi Jepang.
Seorang ekonom senior di Mizuho Research & Technologies, Takeshi Higashifukasawa, setuju dengan rencana tersebut. Pemerintah Jepang harus berani ambil risiko dan tidak bergantung kepada satu negara saja.
“Pemerintah harus mencoba untuk menyebar risiko, daripada hanya bergantung pada satu negara. Pemerintah harus mencoba untuk meningkatkan pengeluaran wisatawan dan mengembangkan cara untuk menarik pengunjung kaya dari berbagai daerah,” katanya.






