Tentang Pungutan Sewa Kain Rp 5.000 Jalur Pendakian Gunung Lawu Via Candi Cetho

Posted on

Kewajiban menyewa kain khusus bagi pendaki Gunung Lawu via jalur Candi Cetho sempat menimbulkan polemik. Ternyata pungutan itu bukan baru terjadi.

Video viral menunjukkan pendaki diminta membayar Rp 5.000 untuk menyewa kain khusus saat melewati jalur pendakian Gunung Lawu di kawasan Pamongkasan Brawijaya. Area itu dianggap sakral.

Setelah ditelusuri, kegiatan itu dikelola oleh Jayadi, ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Tirto.

Kebijakan tersebut diberlakukan menyusul penutupan jalur lama pendakian yang masih berupa tanah dan dibukanya jalur baru yang melewati area religi. Jalur baru tersebut dibangun oleh Jayadi dan kelompoknya sejak 2019. Jalur itu mulai digunakan setelah pandemi COVID-19. Di sanalah pos persewaan kain didirikan.

Pungutan itu menuai pro-kontra. Banyak pendaki mengeluhkan bahwa sewa kain terasa dipaksakan, terutama karena jalur lama ditutup sehingga mereka tak punya pilihan lain. LMDH Wono Tirto menutup jalur lama dengan pagar kayu, sehingga semua pendaki diarahkan ke jalur baru melalui wilayah Babar, lokasi pos sewa kain berada.

Mediasi pun digelar oleh Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Karanganyar bersama Perhutani, Muspika Jenawi, dan LMDH pada Selasa. Kepala Disparpora Hari Purnomo menegaskan, jalur lama kini sudah dibuka kembali dan operasional persewaan kain sudah dihentikan.

“Kalau sudah dihentikan, berarti tidak ada lagi kain maupun orang yang berjaga,” ujarnya.

Perhutani sebagai pemilik kawasan juga mengungkap bahwa izin kerja sama dengan LMDH Wono Tirto telah dicabut sejak 10 Juli 2024.

“Kalau masih ada aktivitas wisata oleh pihak tersebut, maka akan kami hentikan,” kata Wakil ADM Perhutani KPH Solo, Bambang Sunarto.

Meski demikian, Jayadi membantah bahwa pungutan itu adalah pungli. Ia menyebut uang Rp 5.000 hanya berupa dana sukarela untuk operasional dan perawatan jalur.

“Kalau pakai kain wajib, tapi tidak kami paksa bayar. Uangnya untuk bersih-bersih dan perawatan pipa,” kata dia.

Dalam mediasi itu, Jayadi menyatakan siap menghentikan seluruh aktivitas operasional di kawasan tersebut. Namun, ia tetap bersikukuh soal pentingnya penggunaan kain demi menjaga kesakralan area Pamongkasan.

“Saya masih menunggu kalau tempat religi lain juga ditutup. Kalau masalah kain, saya belum bisa terima,” kata dia.

***

Artikel ini sudah lebih dulu tayang di infojateng. Selengkapnya klik di

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *