Desa Ceper, Kabupaten Klaten menjadi saksi meriahnya prosesi panen raya padi serentak yang diadakan di 14 provinsi dan 157 kabupaten/kota. Di tengah riuhnya aktivitas panen, tradisi kuno kembali menyentuh hati masyarakat yakni tradisi Nasi Wiwit.
Itulah simbol rasa syukur petani atas hasil panen yang melimpah, dan dihidupkan kembali seorang ibu petani dengan tulus menyajikan Nasi Wiwit gratis kepada masyarakat di dalam kesibukan prosesi panen, kehadiran tradisi Nasi Wiwit memberikan nuansa sakral sekaligus penuh makna pada momen bersejarah ini (14/04/2025).
Nama “Wiwit” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “mulai” atau “awal.” Tradisi ini diyakini telah ada sejak zaman dahulu, ketika kehidupan masyarakat petani sangat bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Nasi Wiwit menjadi wujud rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh sekaligus doa agar musim tanam berikutnya membawa keberkahan. Nasi Wiwit bukan sekadar makanan, ini adalah bagian dari ritual tradisional yang kaya akan simbolisme.
Masyarakat petani melaksanakan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan kepada bumi yang memberi hasil panen melimpah.
Sejarah mencatat bahwa tradisi ini sudah menjadi bagian integral dari budaya agraris masyarakat Jawa selama berabad-abad. Prosesi Nasi Wiwit dimulai dengan serangkaian tahapan yang dilakukan secara turun-temurun.
Di wilayah Jawa, kegiatan dimulai dengan membersihkan sawah dari sisa jerami dan hasil panen. Aktivitas ini menggambarkan kesadaran petani tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sekaligus mempersiapkan lahan untuk musim tanam berikutnya.
Nasi dan lauk-pauk seperti ikan, ayam, atau sayuran dipersiapkan sebagai hidangan utama. Bahan makanan yang digunakan biasanya berasal dari hasil bumi yang dekat dengan lingkungan petani, menunjukkan harmonisasi antara manusia dan alam.
Tahap berikutnya doa bersama, di mana masyarakat berkumpul guna menyampaikan rasa syukur atas keberkahan dan memohon keselamatan di musim tanam berikutnya.
Doa dipimpin oleh tokoh masyarakat, kepala desa, atau pemuka agama setempat. Nasi Wiwit disantap bersama oleh seluruh warga yang hadir. Ritual makan bersama ini menciptakan momen kebersamaan yang menguatkan hubungan sosial antar warga dan menegaskan solidaritas dalam komunitas.
Nilai dalam Nasi Wiwit tidak hanya menjadi bagian budaya agraris, tetapi mengandung nilai mendalam bagi petani. Nilai tersebut antara lain rasa syukur, kebersamaan, dan harapan.
Rasa terima kasih atas hasil panen yang melimpah, mengingatkan untuk tetap rendah hati dan bersyukur terhadap nikmat yang diberikan. Ritual makan bersama mempererat hubungan sosial di dalam komunitas, menciptakan solidaritas yang kuat di antara masyarakat.
Tradisi ini menjadi sarana menyampaikan harapan agar musim tanam berikutnya berjalan dengan baik dan memberikan hasil lebih melimpah.
Keunikan Hidangan Nasi Wiwit terdiri dari beberapa komponen utama yang memiliki simbolisme mendalam. Nasi yang dimasak dengan cara tradisional melambangkan kesuburan tanah dan hasil panen yang melimpah.
Lauk-pauk seperti ayam atau ikan menunjukkan kemakmuran yang berasal dari alam, sementara sambal yang pedas lambang semangat dan keberanian masyarakat petani dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Buah-buahan yang tersaji sebagai pelengkap menjadi simbol kesegaran dan kehidupan yang terus berlanjut. Penyajian Nasi Wiwit dilakukan dengan sederhana.
Hidangan ini biasanya dihidangkan di sawah atau di rumah kepala desa, menunjukkan hubungan erat antara manusia dengan alam. Makan bersama menjadi simbol rasa syukur sekaligus kebersamaan yang langka ditemukan di tradisi lainnya.
Seiring perkembangan zaman, Nasi Wiwit tidak hanya menjadi tradisi budaya agraris, tetapi juga terpengaruh oleh ajaran agama dan mitologi yang berkembang di Nusantara.
Konsep kesuburan yang terkandung dalam Nasi Wiwit memiliki kesamaan dengan ajaran Hindu-Buddha yang mengakar di Indonesia sejak abad pertama. Sementara itu, pengaruh Islam juga terlihat melalui doa yang dipanjatkan dalam tradisi ini, yang menekankan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Perkembangan berabad-abad, tradisi Nasi Wiwit berkembang mengikuti dinamika masyarakat. Pada zaman kolonial, meski pengaruh budaya kolonial mulai masuk, Nasi Wiwit tetap bertahan sebagai simbol budaya lokal.
Setelah Indonesia merdeka, tradisi ini menjadi identitas yang tetap dijaga ditengah modernisasi dan urbanisasi. Di era modern, Nasi Wiwit sudah mulai terlupakan, karenanya upaya pelestarian perlu dilakukan melalui pengenalan tradisi kepada generasi muda, pengadaan ritual secara rutin, dan dukungan terhadap petani lokal.
Dengan menjaga tradisi ini, masyarakat dapat memastikan bahwa budaya agraris yang kaya tetap hidup di tengah zaman yang terus berkembang. Nasi Wiwit sebagai bentuk rasa syukur sekaligus pengingat pentingnya menjaga keberlanjutan tradisi agraris.
Prosesi ini sering terlihat di Delanggu, daerah di Kabupaten Klaten yang dikenal sebagai penghasil beras Rojolele berkualitas tinggi. Nasi Wiwit menjadi bagian penting dalam Festival Mbok Sri Mulih, acara tahunan yang dirancang untuk merayakan kekayaan budaya tani sekaligus simbol kesejahteraan petani di wilayah tersebut.
Di tengah perubahan zaman, Nasi Wiwit tetap menjadi simbol kuat budaya agraris Indonesia. Hidangan sederhana ini sarat makna dan lebih dari sekadar makanan.
Dalam setiap ritual dan setiap butir nasi yang dihidangkan, terkandung cerita tentang perjuangan, harapan, dan keharmonisan kehidupan. Mari mendukung petani lokal, mengenalkan tradisi ini kepada generasi muda, dan memastikan bahwa Nasi Wiwit tetap menjadi bagian dari cerita Nusantara.
Tradisi Nasi Wiwit tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga pengingat tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.