Wayan Muliartha menggelar upacara potong gigi untuk kedua anaknya tanpa menggunakan plastik sekali pakai. Bertempat di Banjar Cemenggon, Gianyar, Bali upacara itu bisa menjadi bukti nyata bahwa tradisi bisa berjalan harmonis dengan kepedulian terhadap lingkungan.
Upacara metatah atau mesangih itu dihelat pada 5 Maret 2025. Seluruh suguhan makanan dan minuman yang disajikan ke tamu tidak memakai plastik.
“Alas makannya pakai piring keramik, gelasnya yang kaca. Jenis makanannya juga makanan pasar dan tidak menyediakan sovenir,” Muliartha saat ditemui infoBali, Jumat (11/4/2025).
Metatah adalah upacara potong gigi yang merupakan salah satu ritus penting dalam budaya dan agama Hindu Bali. Upacara itu biasanya dilakukan saat seseorang menginjak usia remaja atau menjelang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan.
Upacara itu memiliki makna simbolis dan spiritual untuk memberishkan sifat buruk atau enam musuh dalam diri manusia yang disebut sad ripu (kama: nafsu, loba: keserakahan, krodha: amarah, mada: mabuk/kesombongan, moha: kebingungan, matsarya: iri hati). Kemudian, menandai kedewasaan, yaitu transisi dari masa anak-anak menuju dewasa, dan menyiapkan seseorang secara spiritual untuk menghadapi tanggung jawab hidup, termasuk pernikahan.
Ide melaksanakan upacara metatah tanpa memakai plastik sekali pakai tidak lepas dari latar belakang Muliartha sebagai penggiat Forum Peduli Lingkungan Banjar Cemenggon. Muliartha tak ingin hanya sebatas sosialisasi isu lingkungan dan menjadi inisiator teba modern, tetapi berupaya menyelenggarakan acara yang bebas plastik sekali pakai.
“Pingin pembuktian. Merasa tertantang karena di masyarakat kami sering sosialisasi. Kan kalau ada acara kan pakai nasi atau snack boks berisi air mineral gelasan (plastik), permen, snack-nya plastikan juga, saya arahkan ke pisang dan ubi rebus,” ujar Muliartha.
“Di sana kan kami sosialisasi saja, bukan pendampingan. Entah di sana melakukan atau tidak, kami tidak tahu. Terus kepikiran, kami yang sosialisasikan memang bisa seperti itu? Makanya, pas ada kesempatan, kami coba implementasikan,” kata Muliartha.
Muliartha berulang kali berkomunikasi dengan keluarga untuk merealisasikan idenya. Mereka kemudian turun tangan memasak bersama dan menyajikan makanan dengan format prasmanan.
Sementara khusus untuk jajanan, seperti risol, laklak, kacang kapri, kerupuk melinjo, dan sebagainya, dipesan dalam kemasan boks dan stoples sebagai substitusi plastik sekali pakai. Dekorasi yang dipakai dalam kegiatan itu juga menggunakan bahan organik.
Namun, Muliartha tidak menampik adanya tantangan dalam menyamakan persepsi seluruh anggota keluarga soal konsep upacara ramah lingkungan. Ia berusaha meyakinkan keluarga bahwa konsep baru yang diusung tidak akan mengganggu kelancaran acara. Sebab, ada kekhawatiran peralatan makan pecah saat dipakai sehingga tamunya merasa malu maupun mengalami luka.
Muliartha mendapatkan beragam tanggapan dari masyarakat dengan konsep upacara tanpa plastik sekali pakai itu. Masyarakat mengira jika Muliartha menggunakan katering mahal hingga prosesnya yang ribet. Ada pula yang mengapresiasi inisiatif dari Muliartha. Pria paruh baya itu bahkan sampai diminta untuk mengonsepkan acara serupa di Kecamatan Ubud, Gianyar.
Muliartha merespons santai komentar-komentar tersebut. Menurutnya, justru langkah yang dilakukannya memberi sejumlah manfaat, mulai dari kemudahan mengelola sampah, tidak butuh waktu dan ruang yang banyak dalam pelaksanaannya, hingga bisa menyesuaikan dengan dana yang dimiliki.
“Malah lebih ringan rasanya. Hasil akhirnya, sampah nggak ada, kecuali sampah organik saja, tetapi kan nggak dibawa ke luar, langsung ke teba modern di rumah,” ujar Muliartha.
Teba modern adalah konsep pengembangan dari teba tradisional Bali, yaitu halaman belakang rumah yang biasanya digunakan untuk berbagai aktivitas rumah tangga seperti memasak, beternak, berkebun, hingga mengelola sampah. Dalam versi modernnya, teba modern ditata secara lebih terstruktur dan fungsional, khususnya untuk mendukung gaya hidup ramah lingkungan.
Penerapan teba mdoern itu sebagai tempat pengelolaan sampah organik, seperti membuat kompos dari sisa makanan atau daun-daunan, kemudian kebun rumah tangga, untuk menanam sayuran, rempah, atau tanaman obat, dan area konservasi air, seperti membuat lubang resapan biopori.
Selain itu, teba modern sekaligus menjadi ruang edukasi lingkungan, terutama jika keluarga aktif dalam gerakan sosial atau komunitas peduli lingkungan.
Boleh dibilang, teba modern bukan sekadar pekarangan, tapi juga bentuk nyata dari penerapan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari, yang menyatu dengan budaya lokal Bali.
Sementara itu, Celia, putri Muliartha yang menjalani prosesi potong gigi, menuturkan temannya ada yang mengomentari saat menggunakan piring pecah belah. Mereka khawatir piring pecah saat diedarkan kepada tamu. Namun, semuanya ternyata berjalan dengan lancar.
“Di rumah juga tidak ada meja dan kursi. Pas di sini, diwanti-wanti aja sih. Hati-hati makannya. Ternyata setelah selesai, tidak terjadi apa-apa,” kata Celia.
***
Artikel ini sudah lebih dulu tayang di infoBali. Selengkapnya klik di