Viral sebuah restoran berdiri di dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan yang merupakan lahan konservasi. BKSDA Bali pun meminta maaf.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali buka suara atas desakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangli untuk menghentikan seluruh kegiatan pembangunan di Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan.
Hal ini terkait berdirinya restoran di lahan konservasi tersebut. Semua bermula ketika beredar foto dan video yang menunjukkan bangunan berbeton yang diketahui sebagai sebuah restoran di lahan tersebut.
Tentu saja hal itu ramai menjadi perbincangan di media sosial. Diduga telah terjadi pembukaan lahan demi pembangunan fasilitas wisata di wilayah konservasi seluas 574,27 hektare tersebut.
“Tidak pernah tahu ada bangunan itu. Menurut informasi di lapangan, sudah mulai 8 bulanan kegiatannya di situ. Masyarakat baru tahunya setelah kelihatan dari desa kami. Kok ada bangunan di tengah hutan. Sangat memprihatinkan karena ada pembabatan hutan yang seharusnya tidak boleh dilakukan di sana,” ungkap Perbekel Desa Kedisan, I Nyoman Gamayana.
Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bangl bahkan telah merekomendasikan agar Kepala BKSDA Bali memerintahkan kepada pemilik restoran, I Ketut Oka Sari Merta, agar membongkar bangunan di kawasan konservasi TWA Penelokan.
Dijelaskan bahwa hak pemegang sertifikat standar hanya memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi milik negara sesuai ketentuan perundang-undangan sehingga tidak memerlukan bangunan gedung.
Terkait hal itu, Kepala BKSDA Bali, Ratna Hendratmoko, menjelaskan bangunan tersebut berada pada Blok Pemanfaatan, salah satu bagian dari Blok Pengelolaan TWA Penelokan.
I Ketut Oka Sari Merta yang merupakan warga Desa Batur Tengah yang telah mengantongi Perizinan Berusaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA) dengan Sertifikat Standar: 23082200271370004 yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, tanggal 7 Oktober 2024.
“Berdasarkan pemahaman I Ketut Oka Sari Merta, dalam merealisasikan izin jasa wisata alam dan menjalankan usahanya, perlu membuat bangunan yang akan digunakannya sebagai fasilitas penyediaan makanan dan minuman. Bangunan yang telanjur berdiri dan belum memiliki legalitas akan ditempuh melalui proses hibah kepada negara sehingga statusnya dapat ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN). Selanjutnya, BKSDA Bali akan menentukan nilai sewa mendasarkan pada nilai kewajaran,” terang Moko dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (13/10/2025).
Meskipun sudah membangun restoran ukuran 10,9 x 10 meter, toilet dan dapur ukuran 7,4 x 4,8 meter, area taman depan 14,3 x 36 meter, maupun area parkir 11,7 x 38,7 meter, tidak menutup kemungkinan jasa wisata alam itu dievaluasi secara partisipatif bersama masyarakat adat dan para pemangku kepentingan.
Tujuannya untuk mengecek kelengkapan administrasi hingga kesesuaian rencana usaha dengan daya dukung kawasannya. Untuk itu, BKSDA mengagendakan bertemu tokoh adat Desa Kedisan, Bupati Bangli, maupun Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali pada 13-15 Oktober 2025.
Sebelumnya BKSDA sudah melaporkan permasalahan ini kepada Direktur Jenderal KSDAE dan pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten.
“BKSDA Bali menyampaikan permohonan maaf atas terjadinya dinamika yang timbul. BKSDA Bali mengakui bahwa dalam proses pembangunan kedai makanan terdapat keterlambatan dalam pemenuhan aspek administrasi, khususnya terkait dukungan dan persetujuan dari masyarakat sekitar. Ke depannya, BKSDA Bali akan lebih berhati-hati dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan kegiatan pemanfaatan di kawasan konservasi, dengan mengedepankan prinsip transparansi dan pelibatan masyarakat sekitar,” ucap Moko.
——–
Artikel ini telah naik di