Waisak Bukan Hanya Upacara Umat Buddha, tapi Momen untuk Semua

Posted on

Waisak menjadi hari suci bagi umat Buddha, namun semua orang dari agama lain turut merayakan, tanpa batas. Terlihat pada kebersamaan dan toleransi pada peringatan Waisak di Candi Borobudur 2025.

Pengalaman itu didapatkan infotravel saat mengikuti peringatan Hari Suci Waisak pada 11 dan 12 Mei di Candi Mendut dan Candi Borobudur. Sejak Minggu (11/5), seluruh elemen masyarakat tumplek blek di Magelang.

Injourney atau Kementerian Pariwisata belum merilis jumlah pengunjung atau pun okupansi hotel di Magelang selama Waisak. Hanya saja, jalanan saat kirab Waisak padat, hotel penuh sejak sebulan lalu.

Di kabupaten mungil di Jawa Tegah yang berjarak 44 km dari Yogyakarta itu, umat Buddha dan para biksu dari berbagai negara melakukan ritual dan prosesi keagamaan. Kegigihan umat Buddha dari negara lain tercermin dari para biksu thudong dari Thailand yang berjalan kaki ribuan km ke Magelang.

Dilanjutkan dengan meditasi, lantas gerakan spiritual pradaksina, yang ketenangannya menular kepada mereka yang datang untuk festival Lampion.

Sementara itu, warga lokal, wisatawan beraktivitas lainnya, sebagian menggunakan momen itu untuk mencari nafkah, sebagian lain melakukan pekerjaannya sebagai panitia, berwisata, kepo, bahkan menjadi relawan.

Salah satu pedagang mengatakan Waisak tahun ini cukup ramai meski tidak seramai tahun lalu. Dagangan kupat tahunya kemarin laku.

Begitu pula layanan toilet umum berbayar, laris sejak pagi. Darmi, penjaga toilet umum yang ada di seberang Candi Mendut, mengatakan toiletnya ‘kebanjiran’ pengunjung sejak Minggu.

“Sejak pagi sudah ramai ya, bahkan dari kemarin malah. Lumayan pendapatan meningkat,” kata Darmi.

Yunias, seorang ibu asal Temanggung yang mengikuti rangkaian Waisak bersama anaknya, mengatakan datang ke Magelang untuk mengenalkan Waisak kepada anaknya. Mereka beragama Kristen.

“Ini bagian dari pendidikan juga buat anak saya biar dia tahu Waisak ini seperti apa, bagaimana prosesnya. Dengan perayaan Waisak ini saya berharap semua orang bahagia dan toleransi di Indonesia semakin tinggi,” katanya.

Perayaan Waisak juga menarik perhatian Cia, yang datang dari Surabaya bersama pacarnya. Sejak lama dia penasaran dengan Festival Lampion yang menjadi penutup rangkaian acara Waisak di Candi Borobudur. Dia juga penasaran dengan rangkaian prosesi Waisak sebagai peringatan tiga peristiwa penting dalam kehidupan Siddhartha Gautama, pendiri agama Buddha: kelahiran, pencerahan (menjadi Buddha), dan wafatnya (parinibbana).

“Awalnya saya ingin merasakan menerbangkan lampion dan sudah niat juga mau ikut Waisak dan mencari tahu rangkaian acara lainnya di sini. Kebetulan saya beragama Kristen dan diperbolehkan nih ikut rangkaian, jadi saya ikut. Kesan pertama saya seru dan sakral,” kata dia dalam perbincangan dengan infotravel.

Cerita lain juga dikisahkan oleh relawan perayaan lampion. Duo gen Z bernama Angelica dan Lily memilih menjadi relawan supaya bisa menikmati rangkaian Waisak secara gratis.

“Ada beberapa alasan sih mau jadi relawan. Pertama bisa melihat lampion gratis pastinya. Di sisi lain ikut merayakan momen umat Buddha, walau saya beragama Kristen,” kata Angel.

Pernyataan senada diungkapkan oleh Lily. Dia ikut membantu dengan menjadi relawan demi nilai toleransi.

“Dari sisi lain, mereka kan ikut perayaan kita, jadi nggak salah juga dong kita menghadiri dan membantu mereka,” katanya sembari merapikan hijab yang dikenakannya.