Yayasan Wihara Dharma Bakti merupakan salah satu situs keagamaan tertua di Jakarta, dengan sejarah panjang yang berakar sejak abad ke-17. Dahulu, vihara ini dikenal dengan nama Koan Im Teng, dan dari penyebutan inilah muncul istilah ‘klenteng.
Arif, pemandu walking tour UPK Kota Tua Jakarta, menjelaskan bahwa perubahan penyebutan ini terjadi secara alami. “Menariknya nama Koan Im Tang menjadi asal mula nama klenteng, karena dulu orang itu susah untuk menyebut nama Koan Im Tang, lebih sering nyebutnya ‘teng’, dan akhirnya lama kelamaan jadilah kata klenteng,” kata Arif, Jumat (5/12/2025).
Hingga kini, istilah klenteng digunakan secara luas untuk merujuk pada tempat ibadah masyarakat Tionghoa. Sebagai salah satu vihara tertua di Jakarta, Wihara Dharma Bakti yang berdiri sejak tahun 1650 memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Tionghoa.
Berbeda dengan vihara biasa, vihara yang menggunakan nama ‘Dharma’ umumnya dapat digunakan untuk tiga kepercayaan sekaligus, Buddha, Konghucu, dan Tao (Taoisme).
Hal ini berbeda dari vihara yang memiliki fungsi khusus untuk satu kepercayaan saja. Menariknya, meskipun sering disebut sebagai ‘agama’, Konghucu pada dasarnya merupakan kepercayaan, karena tidak memenuhi syarat agama resmi di Indonesia yang mengharuskan adanya nabi dan kitab suci.
Dalam praktik sehari-hari, masyarakat Tionghoa mengenal banyak dewa yang menjadi tujuan berdoa sesuai kebutuhan hidup. Misalnya, tukang kayu akan berdoa kepada dewa kayu, atau pedagang memohon perlindungan kepada dewa yang dipercaya menjaga rezeki.
Di Wihara Dharma Bakti, salah satu dewa yang sangat dihormati adalah Dewa Handakong, yang dipercaya berhubungan dengan keselamatan dan kehidupan. Saat memasuki area klenteng, suasananya langsung terasa khidmat.
Warna merah mendominasi ruangan, dengan lilin-lilin besar yang menyala dan aroma dupa yang memenuhi udara. Setiap orang yang bersembahyang mengikuti urutan tertentu, terutama bagi penganut yang memeluk lebih dari satu kepercayaan. Tidak jarang seseorang menjalankan ritual pagi di klenteng dan beribadah ke gereja pada sore hari.
Pada altar utama, dewa-dewa ditempatkan sesuai hierarki, mulai dari Dewa Handakong sebagai “tuan rumah” hingga dewa lainnya seperti Dewa Perang. Salah satu praktik khas di vihara ini adalah Ciamsi, sebuah metode ramalan yang mirip dengan tarot.
Seorang pendoa akan mengocok tabung berisi batang-batang bernomor, lalu melempar sepasang biji ketapang sebagai penentu valid tidaknya ramalan. Jika posisi biji tidak sesuai, proses harus diulang.
Banyak orang membutuhkan berulang kali percobaan, dengan rekor tercepat hanya dua kali percobaan. Vihara ini juga memiliki sejarah panjang terkait perkembangan Kota Batavia.
Menurut catatan Jakarta Tourism yang dilansir oleh infoTravel, Wihara Dharma Bakti awalnya didirikan oleh Letnan China Kwee Hoen pada tahun 1650. Namun pada 1740, vihara terbakar habis saat Geger Pecinan, lalu dipugar kembali pada 1755 oleh Kapten Oey Tjie dan diberi nama baru, Jin De Yuan (Kim Tek Le), yang berarti “Kebijaksanaan Emas”.
Dalam perayaan keagamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh, penganut biasanya membawa persembahan sesuai zodiak Tionghoa atau sio masing-masing. Lampion-lampion yang tergantung di langit-langit klenteng bertuliskan doa dan nama pemiliknya sebagai simbol harapan.
Lilin besar tradisional kini banyak diganti dengan lilin berbahan aman untuk mengurangi risiko kebakaran, mengingat beberapa insiden di masa lalu.
Di altar persembahan, berbagai makanan disajikan sebagai bentuk penghormatan kepada para dewa, seperti jeruk, buah naga, kue lapis, dan jajanan pasar. Masyarakat percaya bahwa setelah didoakan, makanan tersebut telah ‘diambil’ esensinya oleh para dewa, sehingga rasanya tidak lagi sama ketika dikonsumsi manusia.
Dengan segala tradisi, sejarah, dan ritualnya, Wihara Dharma Bakti bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pelestarian budaya Tionghoa yang telah bertahan selama berabad-abad. Hingga kini, klenteng ini tetap menjadi ruang spiritual sekaligus warisan budaya yang terus dijaga oleh masyarakat.
