Harga Kelapa Bulat Naik, Dampaknya pada Pariwisata dan Industri

Posted on

Harga kelapa bulat tidak hanya berdampak langsung kepada dapur rumah tangga, tetapi juga pariwisata. Kelangkaan bahan baku kelapa membuat industri olahan kelapa menjerit, termasuk pariwisata.

Kelapa muda pernah menjadi perbincangan hangat di jagat media sosial saat MotoGP Mandalika kedatangan rider dunia. Pada 2022. Marc Marquez, Jorge, Martin, dan Alex Rins pamer menikmati kelapa muda.

Kini, kelapa kembali mewarnai tren media sosial, namun bukan tentang kenikmatan menyantapnya di tepi pantai ala para rider MotoGP itu. Kali ini soal harga mahal. Harga kelapa bulat mencapai Rp 25 ribu per butir.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah mencari upaya untuk menurunkan harga kelapa bulat, namun sejauh ini belum didapatkan titik terang.

“Nah sekarang kita mau cari solusinya. Kemarin sudah ketemu. Sudah kita temukan antara eksportir dengan pelaku usaha industri. Tapi belum ada kesepakatan. Kita cari nanti solusinya yang terbaik,” kata Menteri Perdagangan Budi Santoso, Minggu (20/5/2025) dikutip dari infoFinance.

Ironisnya, krisis itu terjadi di tengah program hilirisasi kelapa yang diluncurkan pemerintah pada 2024. Program yang seharusnya meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja justru terganggu akibat lemahnya koordinasi antara sektor hulu dan hilir. Permintaan bahan baku industri lokal terpinggirkan oleh pasar ekspor.

“Itu kan kelapa naik harganya kan karena ekspor, ekspor dari China jadi harga naik. Sementara industri dalam negeri kan belinya dengan harga murah sehingga eksportir kan lebih suka berjual. Jadinya langka gitu kan,” ujar Budi.

Kelapa bukan hanya disantap sebagai kelapa muda oleh rider MotoGP atau wisatawan lain. Rendang yang menjadi juara makanan paling enak sedunia oleh CNN 2017 juga terdampak. Selain daging sapi, bahan utama pembuatan rendang adalah kelapa.

Selain rendang, kelapa dan santan juga digunakan pada banyak jajanan pasar khas Indonesia. Salah satunya serundeng yang menjadi oleh-oleh khas dari Solo.

Ya, di tengah destinasi wisata yang menggoda, kelapa selalu ada di mana-mana-dari air minum, minyak pijat spa, sampai hidangan kuliner khas Indonesia, bahkan arang batok untuk barbeque di glamping resort.

Bagi sektor pariwisata, kelapa adalah bintang. Dari Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, sampai Mandalika-turis lokal dan mancanegara selalu disuguhi air kelapa muda sebagai simbol keotentikan tropis.

Kelapa memang lumrah masuk dalam berbagai sektor di Indonesia, termasuk pariwisata. Indonesia adalah negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Tahun 2023, total produksinya mencapai 17,97 juta ton, menyalip Filipina dan India. Kelapa segar dan kering kita juga merajai ekspor global.

Tapi ironisnya, dari 3,5 juta hektar kebun kelapa di 2017, kini menyusut jadi 3,3 juta hektar. Produksi perlahan turun. Banyak petani membiarkan pohon tua tak dipupuk, tak dipanen maksimal. Peremajaan kelapa pun jalan tersendat.

Akibatnya industri pengolahan kelapa di hilir mulai megap-megap. Antara mencatat data HIPKI, belasan perusahaan hanya bisa beroperasi sepertiga dari kapasitas pabrik. Ribuan karyawan dirumahkan. Ratusan miliar potensi ekspor pun menguap.

Dengan kondisi itu, Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif perlu ikut turun tangan. Tak cukup hanya mempromosikan destinasi, tapi juga mendukung keberlangsungan bahan baku otentik yang jadi identitas rasa dan suasana wisata tropis Indonesia.

“Saat lebaran sangat terdampak, Harga satu butir Rp 35 ribu. Sampai sekarang harga belum stabil. Kalau dirunut, kenaikan harga kelapa yang mulai beranjak naik sejak pertengahan puasa,” kata Tito Yonaniko, pemilik usaha Rendang Yonaniko, dalam perbincangan dengan infoTravel, Senin (21/4/2025).

“Dampak kenaikan harga itu terasa sangat lama buat UKMK, yang bahan dasar usahanya menggunakan kelapa. Contoh usaha rendang saya ini. Kami tidak bisa langsung menaikkan harga jual produk. Di saat bersamaan kami juga tidak mungkin menurunkan kualitas produksi,” kata Niko lagi.

Sudah harganya mahal, ternyata stok kelapa tua, yang dibutuhkan untuk mengolah rendang juga tidak sesuai standar. Niko mengatakan dalam sepekan dia membutuhkan 50-100 butir kelapa per pekan untuk memenuhi usahanya.

“Kadang kala kelapa yang dilempar ke pasaran adalah kelapa kategori muda, padahal yang dibutuhkan untuk produksi rendang jenis kelapa tua (santan). Sulit, Kami tidak bisa dan tidak mungkin melakukan substitusi bahan, misalnya dengan santan kemasan, itu akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk dan produksi,” dia menjelaskan.

Sementara itu, Ketua PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantoro mengatakan sejauh ini belum ada keluhan dari hotel atau pun restoran. Hanya saja, kondisi itu secara otomatis mempengaruhi harga jual dan kesediaan barang yang dibutuhkan, cepat atau lambat.

“Setelah diekspor suplainya berkurang, barang langka harga naik, maka industri yang memerlukan kelapa jadi kesulitan mendapatkan kelapa. Kelangkaan barang itu menyebabkan harga bahan baku naik dan bikin harga barang jadi naik,” ujar dia.

Niko dan Sutrisno sama-sama berharap pemerintah menstabilkan harga kelapa dan menciptakan mekanisme perlindungan harga bahan baku bagi UMKM agar lebih tahan terhadap fluktuasi pasar.

“Semoga masalah ini segera diselesaikan oleh pemerintah,” kata Niko.