Wajah Raja Ampat yang cantik rusak karena aktivitas tambang yang tersebar viral di media sosial. Pengamat pariwisata geram dan menuntut agar jangan sampai ada pertambangan di sana.
Pengamat kebijakan publik pariwisata, Profesor Azril Azhari, menjelaskan dengan rinci dasar pengembangan pariwisata Raja Ampat. Dia menyatakan bahwa Raja Ampat dibangun untuk pariwisata berkelanjutan dan pariwisata pulau-pulau kecil.
“Pariwisata berkelanjutan berbasis pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal (comnunity based tourism) dan sistem ekologi untuk menjaga dan konservasi ekologi (eco-system based tourism),” kata Azril dalam perbincangan dengan infotravel, Selasa (10/6).
Dia mengingatkan bahwa ekologi dibagi menjadi tiga, yaitu lingkungan biotik berupa flora dan fauna, kemudian lingkungan abiotik (atmosphere/udara, pedosphere/lapisan tanah, lithosphere/lapisan bawah tabah/mineral), dan manusia dengan budayanya.
Adapun, pariwisata pulau-pulau kecil adalah pariwisata di pulau-pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² dan berpatokan kepada Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (PWP3K), keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memperkuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yaitu memperkuat larangan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil, yang didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km², serta UU No. 1 Tahun 2014 (Perubahan UU No 27 tahun 2007) yang telah menegaskan larangan aktivitas pertambangan di pulau kecil untuk melindungi kelestarian ekologis dan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil.
“UU No.1 Tahun 2014 dan Putusan MK ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk menghentikan pertambangan di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata dia.
Azril dengan tegas meminta agar pemerintah meninjau ulang model pembangunan di PWP3K Indonesia. Regulasi berupa UU dan Putusan MK adalah dasar yang sangat kuat.
“Polemik tambang nikel di Raja Ampat harus segera dihentikan oleh Pemerintah,” kata dia.
Dia mengatakan pembangunan yang hanya berfokus pada ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan sistem ekologi akan membawa kehancuran.
“Yang berfokus pada ekonomi harusnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal setempat/residen, bukan untuk profit pemilik dana (community based tourism),” dia menambahkan.
Jika ingin menghitung ekonomi, pemerintah harus mampu menghitung biaya lainnya termasuk nilai jasa ekosistem yang sangat jarang dihitung.
Selain itu, ekosistem budaya masyarakat adat lokal setempat (human and culture) adalah aset tak ternilai yang harus dihormati dan dilindungi.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
“Tuntutan moratorium permanen dan mencabut ijin adalah langkah yang bijak untuk kepentingan masyarakat adat lokal setempat, bukan berpihak pada para pemilik modal,” kata dia.
Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya pariwisata dan sumberdaya ekonomi akan lebih lestari secara ekosistem dengan kearifan lokalnya.
“Raja Ampat bukan hanya sebuah situs geopark global UNESCO yang ditetapkan pada 2023, tetapi bagaimana kita mampu memperlakukan alam, mulai dari lingkungan abiotik, biotik dan manusia dengan budayanya), yang pada akhirnya, bagaimana kita memahami tempat kita hidup di alam semesta ini,” kata dia.
Azril juga mengatakan bahwa ini adalah tentang kualitas kehidupan yang seimbang serta mampu mengembangkan pariwisata kesehatan dan kebugaran dengan green healing dan blue healing.
“Apakah kita mampu menjaga dan memanfaatkan karunia dan anugerah Tuhan atau dengan sengaja mengabaikannya, demi keuntungan materi sesaat. Padahal mengembalikan alam memerlukan ribuan tahun,” kata dia.