Kebun Raya Bogor merupakan salah satu kawasan konservasi dan penelitian botani tertua di Asia Tenggara. Dengan luas lebih dari 87 hektare, kawasan ini menyimpan sejarah panjang yang jauh melampaui masa kolonial, bahkan sebelum nama Bogor dikenal seperti sekarang.
Jauh sebelum berdirinya Kebun Raya Bogor, kawasan ini berada dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Saat itu, area tersebut merupakan hutan buatan yang dikenal dengan nama Samida.
Hutan Samida bukan sekadar kawasan hijau, melainkan tempat yang disakralkan dan digunakan untuk berbagai ritual keagamaan. Keberadaan hutan ini mencerminkan kesadaran Kerajaan Pajajaran akan pentingnya ruang hijau sebagai penyangga kehidupan, mengingat Pakuan Pajajaran, ibu kota kerajaan berada di wilayah Bogor.
Di dalam kawasan Kebun Raya Bogor hingga kini masih terdapat jejak sejarah Kerajaan Pajajaran, salah satunya adalah makam salah satu istri Prabu Siliwangi.
Di sekitar makam tersebut terdapat sumber mata air yang dipercaya tidak pernah kering, bahkan saat musim kemarau. Air dari sumur tersebut kerap didatangi masyarakat, meskipun terdapat kepercayaan tertentu yang mengatur siapa saja yang boleh mendekatinya. Penghormatan terhadap kawasan Samida tidak hanya datang dari masyarakat lokal.
“Di kerajaan Padjadjaran, tempat ini memang adalah salah satu tempat yang dilakukan untuk sebuah ritual. Ritualnya adalah ritual keagamaan, bahkan di dalam Kebun Raya Bogor ada salah satu makam dari istri Prabu Siliwangi,” jelas Ara, pemandu wisata dari Jakarta Good Guide, Jumat (26/12/2025) lalu.
Pada masa kolonial, pemerintah Belanda juga menunjukkan sikap hormat terhadap kawasan ini. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan batu bergambar Dewa Siwa dan Nandi, sebagai simbol penghormatan terhadap budaya Hindu-Buddha yang dianut Kerajaan Pajajaran.
Tonggak sejarah Kebun Raya Bogor dimulai pada tahun 1817, bukan oleh Thomas Stamford Raffles sebagaimana kerap tertulis di beberapa sumber, melainkan atas inisiatif Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen.
Gagasan pendirian kebun botani ini muncul setelah Van der Capellen menerima surat dari seorang mahasiswa botani Belanda bernama Caspar Georg Carl Reinwardt (sering disebut Reinwardt), yang mengusulkan dilakukannya penelitian botani di Buitenzorg nama Bogor pada masa itu.
Van der Capellen kemudian memanggil Reinwardt, seorang ahli botani asal Jerman, untuk melakukan penelitian di kawasan Samida. Reinwardt mengumpulkan dan menanam sekitar 900 jenis tanaman obat dari berbagai wilayah Nusantara di halaman Istana Bogor.
Dari sinilah cikal bakal Kebun Raya Bogor terbentuk dengan nama ‘s Lands Plantentuin te Buitenzorg, yang berarti Kebun Tanaman Negara di Buitenzorg.
“Mendapatkan surat dari seorang mahasiswa bernama Abner. Membuat halaman botanik atau penelitian tanaman di Buetenzorg. Memanggil Renward untuk meneliti wilayah ini,” kata Ara.
“Renward mengumpulkan tanaman obat-obatan dari Nusantara di halaman Istana. Ketemu 900 jenis tanaman obat dari Nusantara,” tambah Ara.
Reinwardt kembali ke Eropa pada tahun 1822, dan pengelolaan kebun botani dilanjutkan oleh Carl Ludwig Blume. Blume melakukan pendataan dan klasifikasi ulang terhadap koleksi tanaman yang ada, hingga tercatat sebanyak 912 jenis tanaman pada masa kepemimpinannya.
Selanjutnya, tongkat estafet pengelolaan diserahkan kepada Johannes Elias Teijsmann, ahli botani yang berjasa besar dalam pengembangan sistem identifikasi tanaman. Berkat Teijsmann, setiap tanaman di Kebun Raya Bogor memiliki label atau “kartu identitas” yang mencantumkan nama ilmiah dan informasi penting lainnya.
Teijsmann juga dikenal sebagai pendiri Kebun Raya Cibodas dan peneliti lumut, menjadikan Cibodas sebagai salah satu pusat koleksi lumut terlengkap di dunia.
Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh Dr. Hugo de Vries, seorang ahli botani yang berkontribusi besar dalam penelitian genetika tumbuhan. Ia menemukan konsep kromosom pada tumbuhan, yang menjadi dasar pemahaman tentang perkawinan silang tanaman dan teknik perbanyakan seperti cangkok.
Selain koleksi tanaman, Kebun Raya Bogor juga menyimpan berbagai situs pemakaman bersejarah, baik dari era Kerajaan Pajajaran maupun masa kolonial Belanda.
Keberadaan makam-makam ini menegaskan bahwa kawasan Kebun Raya Bogor memiliki nilai sejarah dan budaya yang tak terpisahkan dari fungsi ilmiahnya.
Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, pengelolaan Kebun Raya Bogor resmi berada di tangan pemerintah Indonesia, dengan direktur berkebangsaan Indonesia.
Nama kawasan ini pun berubah menjadi Botanical Garden of Bogor, yang kemudian dikenal luas sebagai Kebun Raya Bogor. Kini, Kebun Raya Bogor tidak hanya menjadi pusat penelitian botani, tetapi juga ruang edukasi, konservasi, dan wisata sejarah.
Di dalamnya tumbuh pohon-pohon tua yang telah ditanam sejak awal abad ke-19, termasuk pohon-pohon raksasa yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang kawasan hijau bersejarah ini.
