Keraton Solo merupakan salah satu kerajaan yang masih berdiri di Indonesia. Hingga saat ini, Keraton Solo masih memiliki peran penting bagi masyarakat Jawa Tengah, khususnya Surakarta.
Keraton Solo atau dikenal juga dengan Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu keraton yang masih eksis di Jawa Tengah hingga saat ini. Berada di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah, keraton ini menjadi simbol keberagaman budaya di Indonesia.
Apa saja fakta tentang Keraton Solo? Simak penjelasan berikut.
Menurut laman resmi DPRD Kota Surakarta, asal-usul nama Surakarta berasal dari permainan kata Kartasura. Sementara itu, nama Solo berasal dari nama Desa Sala yang dipilih Pakubuwono II untuk tempat mendirikan kerajaan.
Penggunaan kata Surakarta biasanya digunakan dalam situasi formal atau pemerintahan, sedangkan Solo digunakan untuk jangkauan yang lebih umum.
Melansir arsip infoJateng, Keraton Solo tidak terlepas dari perkembangan Kerajaan Mataram yang didirikan Panembahan Senapati Ing Ngalogo pada 1575. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Berdasarkan catatan dari buku “Kitab Terlengkap Sejarah Mataram” karya Soedjipto Abimanyu. Sejarah Keraton Solo bermula dari Pakubuwono I yang dikenal sebagai sultan dari Keraton Kartasura.
Setelah Pakubuwono I wafat, tahta keraton kemudian digantikan oleh Pakubuwono II dengan gelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama.
Sejarah mencatat, pada 1740 terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina kepada VOC. Hal ini didasari oleh kebijakan VOC yang membatasi jumlah orang Cina di Batavia. Pemberontakan yang dilakukan oleh laskar Cina ini dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan.
Konflik ini bermula dari perbedaan pendapat antara Sultan Pakubuwono II dan Sultan Hamengkubuwono I. Sultan Pakubuwono II memberikan dukungan kepada laskar Cina dengan mengutus patih Keraton Kartasura, Adipati Natkusuma.
Namun, dalam perlawanan itu, Pakubuwana II melihat bahwa peluang laskar Cina menang melawan VOC sangat kecil, terlebih setelah gagal menguasai Semarang. Pakubuwana II kemudian memilih untuk mundur dari pemberontakan tersebut dengan menarik Adipati Natkusuma dan mengasingkannya ke Sailon (Srilanka).
Prediksi Pakubuwana II ternyata meleset, laskar Cina berhasil memperkuat pertahanan dan berhasil menggaet dukungan dari Bupati Pati dan Grobogan. Bahkan, Cina mendeklarasikan Mas Garendi atau Sunan Kuning sebagai penguasa Kerajaan Mataram Kartasura.
Dengan bantuan dari VOC, Pakubuwana II berhasil mendapatkan kembali kerajaan yang sempat dikuasai para pemberontak. Setelah kejadian tersebut, Pakubuwana II memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kartasura ke Desa Sala (Solo) dan mengganti nama kerajannya menjadi Keraton Surakarta. Secara resmi Keraton Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745.
Setelah Pakubuwono II wafat, tahta kerajaan digantikan oleh putranya yang diberi gelar sultan Pakubuwana III. Mengikuti jejak sang ayah, Pakubuwana III mengabdikan diri kepada VOC.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana III terjadi perang saudara antara Pakubuwana III dengan Raden Mas Said dan Mangkubumi. Peristiwa inilah yang kemudian membuat pecahnya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Sultan Pakubuwana III menyetujui pembagian wilayah Surakarta kepada Mangkubumi yang kemudian menjadi Raja dari Keraton Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Giyanti.
Melansir situs infoJateng, tercatat sudah ada setidaknya 12 raja yang memerintah Keraton Solo dari masa ke masa.
· Sri Susuhunan Pakubuwono II (tahun 1745-1749)
· Sri Susuhunan Pakubuwono III (tahun 1749-1788)
· Sri Susuhunan Pakubuwono IV (tahun 1788-1820)
· Sri Susuhunan Pakubuwono V (tahun 1820-1823)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VI (tahun 1823-1830)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VII (tahun 1830-1858)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (tahun 1859-1861)
· Sri Susuhunan Pakubuwono IX (tahun 1861-1893)
· Sri Susuhunan Pakubuwono X (tahun 1893-1939)
· Sri Susuhunan Pakubuwono XI (tahun 1939-1944
· Sri Susuhunan Pakubuwono XII (tahun 1944-2004)
· Sri Susuhunan Pakubuwono XIII (tahun 2004-2025)
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII wafat pada Minggu (2/11/2025). Keraton solo mengonfirmasi akan menggelar Jumenengan atau penobatan raja baru pada Sabtu (15/11/2025).
Keraton menyatakan bahwa undangan Jumenengan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S Pakubuwono XIV sudah disebarkan. Upacara tersebut akan diadakan di Keraton Solo pukul 08.00 WIB.
“Menanggapi berbagai pertanyaan dan konfirmasi yang masuk, kami menyampaikan bahwa surat resmi mengenai pelaksanaan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S. Pakubuwono XIV yang beredar adalah benar dan sah dikeluarkan oleh Panitia Jumengeng Dalem Nata Binayangkare Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat,” ujar G.K.R Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, putri tertua Pakubuwono XIII.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Raja baru yang akan dinobatkan menggantikan Pakubuwono XIII adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram atau lebih akrab dikenal dengan Gusti Purbaya.
Untuk mengisi kekosongan tahta, ditunjuk seorang Pelaksana Tugas (Plt) yang bertugas untuk mengawal administrasi keraton dan menghindari konflik internal. Saat ini, Plt yang ditunjuk adalah Kanjeng Gusti Panembahan Tedjowulan yang merupakan adik dari almarhum Pakubuwono XII.
Di zaman modern, Keraton Solo telah berubah dari sistem politik tradisional menjadi salah satu pusat kebudayaan dan identitas lokal bagi masyarakat. Meski tidak memiliki kekuasaan secara administratif dalam sistem pemerintahan Indonesia, keraton tetap diakui sebagai simbol warisan budaya bangsa.
Secara politik, Keraton Solo memang tidak lagi berdaulat, tetapi secara kultural dan simbolik, ia masih berperan besar sebagai penjaga napas budaya Jawa dan jembatan antara masa lalu dengan masa kini.
Mengutip Antara, Kementerian Kebudayaan RI menyatakan komitmennya untuk memfasilitasi pemugaran aset dari cagar budaya di Indonesia untuk menjaga nilai sejarah dan budaya di Jawa agar tetap hidup, salah satunya Keraton Solo.
“Kami berharap aset budaya dan cagar budaya keraton ini dapat terus menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional kita,” kata Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulis, dilansir infoNews.
Dalam hal ini, Keraton Solo berperan sebagai pusat pelestarian budaya keraton, pusat seni tradisional, upacara adat, dan pariwisata. Hal ini memberikan tantangan kepada pemerintah dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya Indonesia.
Hingga kini, keraton masih aktif menyelenggarakan berbagai upacara adat dan ritual tradisional, seperti sekaten (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan nuansa budaya Jawa-Islam), tedhak siten, kirab malam 1 Suro, dan berbagai pementasan tari klasik dan gamelan, serta jumenengan yang dijadwalkan pada akhir pekan ini.
Secara administratif, Keraton Solo berdiri sebagai pusat budaya yang tidak terkait dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Namun, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan dari Keraton Solo.
Mengutip penelitian “Kedudukan Keraton Surakarta Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah” menjelaskan bahwa Keraton Solo pernah diresmikan sebagai Daerah Istimewa pada 1945.
Namun pada 4 Juli 1950, diterbitkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Dimana saat itu Surakarta masuk ke dalam provinsi tersebut secara administratif, sehingga status daerah istimewanya dihapus. Berbeda dengan Yogyakarta yang tetap mendapatkan keistimewaan sebagai daerah yang memiliki kedudukan hukum khusus.
Sejarah Berdirinya Keraton Solo
Silsilah dan Raja-raja Keraton Solo
Peran Keraton Solo di Zaman Modern
Melansir situs infoJateng, tercatat sudah ada setidaknya 12 raja yang memerintah Keraton Solo dari masa ke masa.
· Sri Susuhunan Pakubuwono II (tahun 1745-1749)
· Sri Susuhunan Pakubuwono III (tahun 1749-1788)
· Sri Susuhunan Pakubuwono IV (tahun 1788-1820)
· Sri Susuhunan Pakubuwono V (tahun 1820-1823)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VI (tahun 1823-1830)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VII (tahun 1830-1858)
· Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (tahun 1859-1861)
· Sri Susuhunan Pakubuwono IX (tahun 1861-1893)
· Sri Susuhunan Pakubuwono X (tahun 1893-1939)
· Sri Susuhunan Pakubuwono XI (tahun 1939-1944
· Sri Susuhunan Pakubuwono XII (tahun 1944-2004)
· Sri Susuhunan Pakubuwono XIII (tahun 2004-2025)
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII wafat pada Minggu (2/11/2025). Keraton solo mengonfirmasi akan menggelar Jumenengan atau penobatan raja baru pada Sabtu (15/11/2025).
Keraton menyatakan bahwa undangan Jumenengan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S Pakubuwono XIV sudah disebarkan. Upacara tersebut akan diadakan di Keraton Solo pukul 08.00 WIB.
“Menanggapi berbagai pertanyaan dan konfirmasi yang masuk, kami menyampaikan bahwa surat resmi mengenai pelaksanaan Hajad Dalem Jumengeng Dalem Nata Binayangkare S.I.S.K.S. Pakubuwono XIV yang beredar adalah benar dan sah dikeluarkan oleh Panitia Jumengeng Dalem Nata Binayangkare Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat,” ujar G.K.R Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, putri tertua Pakubuwono XIII.
Raja baru yang akan dinobatkan menggantikan Pakubuwono XIII adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram atau lebih akrab dikenal dengan Gusti Purbaya.
Untuk mengisi kekosongan tahta, ditunjuk seorang Pelaksana Tugas (Plt) yang bertugas untuk mengawal administrasi keraton dan menghindari konflik internal. Saat ini, Plt yang ditunjuk adalah Kanjeng Gusti Panembahan Tedjowulan yang merupakan adik dari almarhum Pakubuwono XII.
Silsilah dan Raja-raja Keraton Solo
Di zaman modern, Keraton Solo telah berubah dari sistem politik tradisional menjadi salah satu pusat kebudayaan dan identitas lokal bagi masyarakat. Meski tidak memiliki kekuasaan secara administratif dalam sistem pemerintahan Indonesia, keraton tetap diakui sebagai simbol warisan budaya bangsa.
Secara politik, Keraton Solo memang tidak lagi berdaulat, tetapi secara kultural dan simbolik, ia masih berperan besar sebagai penjaga napas budaya Jawa dan jembatan antara masa lalu dengan masa kini.
Mengutip Antara, Kementerian Kebudayaan RI menyatakan komitmennya untuk memfasilitasi pemugaran aset dari cagar budaya di Indonesia untuk menjaga nilai sejarah dan budaya di Jawa agar tetap hidup, salah satunya Keraton Solo.
“Kami berharap aset budaya dan cagar budaya keraton ini dapat terus menjadi bagian dari kekayaan budaya nasional kita,” kata Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulis, dilansir infoNews.
Dalam hal ini, Keraton Solo berperan sebagai pusat pelestarian budaya keraton, pusat seni tradisional, upacara adat, dan pariwisata. Hal ini memberikan tantangan kepada pemerintah dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya Indonesia.
Hingga kini, keraton masih aktif menyelenggarakan berbagai upacara adat dan ritual tradisional, seperti sekaten (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan nuansa budaya Jawa-Islam), tedhak siten, kirab malam 1 Suro, dan berbagai pementasan tari klasik dan gamelan, serta jumenengan yang dijadwalkan pada akhir pekan ini.
Secara administratif, Keraton Solo berdiri sebagai pusat budaya yang tidak terkait dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Namun, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan dari Keraton Solo.
Mengutip penelitian “Kedudukan Keraton Surakarta Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah” menjelaskan bahwa Keraton Solo pernah diresmikan sebagai Daerah Istimewa pada 1945.
Namun pada 4 Juli 1950, diterbitkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Dimana saat itu Surakarta masuk ke dalam provinsi tersebut secara administratif, sehingga status daerah istimewanya dihapus. Berbeda dengan Yogyakarta yang tetap mendapatkan keistimewaan sebagai daerah yang memiliki kedudukan hukum khusus.
