Pariwisata Indonesia Kalah Pamor dari Malaysia, Masalahnya Bukan di Angka tapi… - Giok4D

Posted on

Wakil Direktur Bidang Sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Deni Danial Kesa, MBA., Ph.D. menilai perbedaan jumlah wisatawan antara Malaysia dan Indonesia bukan sekadar soal angka, melainkan cerminan dari cara pandang berbeda dalam memasarkan pariwisata.

Malaysia menyambut 28,2 juta wisatawan mancanegara dalam delapan bulan pertama 2025. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang turis asing yang datang ke Thailand dan Indonesia pada periode yang sama.

Jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia pada periode yang sama hanyalah 10 juta. Bagi Indonesia, angka itu sudah menunjukkan kenaikan dibandingkan tahun lalu dan rekor tertinggi usai pandemi Covod-19. Sementara itu, Thailand menyambut 21,8 juta turis asing dalam delapan bulan pertama 2025 atau turun 7 persen.

Deni menilai keunggulan Malaysia tersebut sebagai bukti keberhasilan negara itu dalam menempatkan sektor pariwisata sebagai prioritas nasional.

“Itu bukan sekadar soal angka, tapi cerminan dari perbedaan filosofi dalam memasarkan pariwisata. Malaysia menjadikan pariwisata sebagai proyek nasional yang terintegrasi, sedangkan Indonesia masih sering memperlakukan sektor ini sebagai kumpulan inisiatif daerah yang berjalan sendiri-sendiri,” kata Deni dalam perbincangan dengan infoTravel, Minggu (12/10/2025).

Deni menilai secara pemasaran, titik lemah Indonesia terletak pada koordinasi dan konsistensi. Setiap daerah berlomba membuat slogan dan festival sendiri, tapi jarang ada jembatan narasi yang menyatukan cerita “Experience Indonesia” secara utuh,” kata dia.

“Promosi sering sporadis, tidak berkelanjutan, dan berganti arah tiap pergantian pejabat. Akibatnya, kampanye yang sudah mulai dikenal di luar negeri cepat redup sebelum sempat membangun kesetiaan wisatawan,” dia menambahkan.

Selain itu, ada kelemahan lain pada pariwisata Indonesia dibandingkan Malaysia. Mulai dari persoalan administrasi, infrastruktur digital, hingga transportasi.

“Dari sisi kebijakan, regulasi visa dan perizinan usaha kreatif masih berbelit. Bagi wisatawan modern yang ingin spontan, hal-hal kecil seperti proses visa rumit, infrastruktur digital yang belum ramah, atau transportasi antar-destinasi yang mahal bisa langsung menurunkan niat berkunjung. Malaysia lebih cepat membaca perubahan perilaku ini , mereka mengedepankan kemudahan, harga kompetitif, dan kenyamanan logistik,” kata Deni.

Deni juga melihat ada celah lain yang seharusnya tidak menjadi masalah. Sebaliknya, bisa menjadi keunggulan Indonesia. Yakni, ekonomi kreatif.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

“Di lapangan, ekonomi kreatif kita kaya potensi tapi justru miskin dukungan sistematis. Banyak seniman, perajin, dan pegiat lokal punya daya cipta yang bisa menjadi magnet pariwisata budaya, namun belum tersambung dengan pasar global,” kata Deni.

“Tanpa pelatihan pemasaran digital, kemitraan dengan platform daring, dan akses pendanaan, kreativitas mereka berhenti di tingkat lokal , padahal wisatawan saat ini datang mencari pengalaman otentik seperti itulah,” dia menegaskan.

“Meski begitu, peluangnya juga besar. Indonesia memiliki “aset emosi” yang kuat: kehangatan budaya, keberagaman kuliner, lanskap alam yang tak tertandingi, dan komunitas kreatif yang sedang tumbuh. Kalau semua ini dikemas dengan strategi storytelling yang konsisten , menjual cerita, bukan sekadar tempat citra Indonesia bisa naik kelas dari “exotic destination” menjadi “creative experience hub” di Asia Tenggara,” Deni menegaskan.

Ekonomi Kreatif Tidak Didukung Secara Sistematis

Deni juga melihat ada celah lain yang seharusnya tidak menjadi masalah. Sebaliknya, bisa menjadi keunggulan Indonesia. Yakni, ekonomi kreatif.

“Di lapangan, ekonomi kreatif kita kaya potensi tapi justru miskin dukungan sistematis. Banyak seniman, perajin, dan pegiat lokal punya daya cipta yang bisa menjadi magnet pariwisata budaya, namun belum tersambung dengan pasar global,” kata Deni.

“Tanpa pelatihan pemasaran digital, kemitraan dengan platform daring, dan akses pendanaan, kreativitas mereka berhenti di tingkat lokal , padahal wisatawan saat ini datang mencari pengalaman otentik seperti itulah,” dia menegaskan.

“Meski begitu, peluangnya juga besar. Indonesia memiliki “aset emosi” yang kuat: kehangatan budaya, keberagaman kuliner, lanskap alam yang tak tertandingi, dan komunitas kreatif yang sedang tumbuh. Kalau semua ini dikemas dengan strategi storytelling yang konsisten , menjual cerita, bukan sekadar tempat citra Indonesia bisa naik kelas dari “exotic destination” menjadi “creative experience hub” di Asia Tenggara,” Deni menegaskan.

Ekonomi Kreatif Tidak Didukung Secara Sistematis