Perhatikan Pemain Gamelan Ini, Mereka Bukan Orang Jawa, tapi Asli Jepang

Posted on

Sepintas melihat, para pemain gamelan ini terlihat seperti orang Jawa. Padahal bukan. Mereka adalah grup kesenian Gamelan asli Osaka, Jepang.

Mereka sedang berkunjung ke sanggar seni Begog Kiyatdiharjo, Desa Mlese, Kecamatan Gantiwarno, Klaten jauh-jauh dari Jepang untuk belajar menabuh gamelan.

Rombongan grup penabuh gamelan dari Jepang ini berjumlah 15 orang. Mereka berasal dari berbagai lintas profesi. Tak hanya belajar menabuh gamelan, mereka juga belajar nembang lagu-lagu Jawa.

“Grup namanya Margasari dari Osaka,” ungkap Manami Nishi (50), seorang peserta kepada awak media, Rabu (20/8/2025) sore.

Manami yang seorang guru di Kyoto itu menceritakan dirinya dan rombongan belajar ke ISI (institut seni Indonesia). Kebetulan Pak Bowo dari sanggar Begog Kiyatdiharjo pernah ke Jepang.

“Pak Bowo datang ke Jepang terus berkarya di sana, kali ini mau kegiatan di Jawa ya kita pengin ketemu sekaligus bermain, latihan di sini,” kata Manami.

“Ya saya senang sekali bisa bermain,” imbuh Manami dengan bahasa Indonesia meski tidak fasih.

Y Subowo, pemilik sanggar menjelaskan grup gamelan dari Osaka Jepang itu bernama Margasari. Jumlahnya sekitar 15 orang yang khusus datang ke Jogja belajar gamelan.

“Khusus ke Jogja, ke kampus ISI belajar gamelan. Kebetulan, saya sudah bekerja sama ke Osaka bulan Maret kemarin, ini tak ampirke (diminta mampir) ke desa saya untuk beraktivitas di sini,” terang Subowo kepada wartawan.

Menurut Subowo, ke 15 orang yang datang itu bukan seniman profesional, tetapi ada yang berprofesi sebagai dosen, pekerja teknik, pekerja pabrik dan lainnya. Namun grup musik mereka ternyata sudah lama ada.

“Grup ini sebenarnya sudah lama sekali, mereka sudah mengalami pergantian murid banyak sekali, sampai lima periode. Grup itu juga memiliki alat gamelan sendiri.

“Grup ini sampai mempunyai dua perangkat gamelan, membeli patungan saking tertariknya dengan gamelan. Sebab menurut saya gamelan tidak sekadar hiburan, sarana pendidikan tapi terapi, sudah diakui UNESCO,” kata Subowo.

——–

Artikel ini telah naik di