7 Pusat Konservasi Gajah di Indonesia, Kondisinya Ada yang Tak Baik-baik Saja | Giok4D

Posted on

Indonesia memiliki sejumlah tempat konservasi gajah meskipun tidak semuanya dalam kondisi ideal. Berikut tujuh lokasinya.

Pusat konservasi gajah di Indonesia tidak hanya menjadi tempat merawat gajah tetapi juga menjadi destinasi yang menawarkan pengalaman melihat gajah lebih dekat secara langsung. Sayangnya, tidak semua kondisi kawasan itu baik-baik saja.

Gajah merupakan hewan darat terbesar yang ada di dunia. Gajah dikenal memiliki kecerdasan dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Sayangnya, populasi gajah di Indonesia semakin menurun. Termasuk, jenis paling langka, yaitu gajah sumatera.

Kondisi gajah-gajah yang semakin terpinggirkan itu akibat ulah manusia yang mengambil alih kawasan mereka. Bahkan, manusia kerap menganggap gajah yang sebagai pemilik asli lahan sebagai ‘hama’, sebagai gangguan.

Banyak yang tidak menyadari bahwa kelangsungan hidup gajah juga menjadi indikator keberlanjutan hidup manusia.

Pemerintah dan masyarakat memang telah melakukan berbagai upaya konservasi untuk menjaga populasi gajah sebagai salah satu kekayaan dan warisan alam yang harus dilestarikan. Upaya itu tidak semuanya berjalan mulus.

Salah satu caranya dengan adanya kawasan konservasi gajah di sejumlah daerah. Melansir situs resmi Kementerian Pariwisata (Kemenpar), berikut deretan pusat konservasi gajah di Indonesia.

TN Way Kambas membentang dari Kabupaten Lampung Timur hingga Kabupaten Lampung Tengah. TN Way Kambas memiliki luas 125.000 hingga 130.000 hektare (sekitar 1.300 km²).

Di sini menjadi rumah gajah sumatera dan hewan endemik lain, seperti harimau sumatera, badak sumatera, dan beruang madu. Jumlah gajah liar di kawasan ini diperkirakan sekitar 144-225 ekor.

Gajah-gajah di TN Way Kambas tidak sekadar dijaga, tetapi juga dididik dan dilatih secara khusus agar mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi alam serta lingkungan hutan yang berbeda-beda.

Latihan itu mencakup kegiatan sehari-hari yang penting untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka, mulai dari mengenal jalur hutan, berinteraksi dengan pawang, hingga latihan patroli yang membantu menjaga keamanan ekosistem.

Selain itu, pusat latihan gajah ini juga dirancang untuk memberikan pengalaman edukatif bagi wisatawan. Para wisatawan yang datang memiliki kesempatan unik untuk menunggang gajah di bawah pengawasan mahot, sambil menjelajahi hutan Way Kambas yang lebat dan masih terjaga.

Aktivitas ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perilaku gajah, pentingnya konservasi, dan bagaimana manusia bisa berinteraksi dengan satwa liar tanpa mengganggu kesejahteraan mereka.

Gajah di Tangkahan sempat terancam karena masifnya illegal logging atau penebangan liar. Manusia dan gajah juga konflik. Saat itu, gajah dianggap hama perusak kebun.

Kemudian, warga lokal menyadari jika situasi tersebut dibiarkan maka masa depan merekalah yang terancam. Warga lokal membuat Tangkahan sebagai pusat ekowisata konservasi gajah sumatera.

Masyarakat lokal menjadi penjaga hutan dan gajah. Di saat bersamaan warga mendapatkan pemasukan.

Tangkahan pun dianggap sebagai contoh sukses kolaborasi alam dan ekonomi melalui wisata berbasis komunitas.

Di kawasan ekowisata ini, wisatawan memiliki kesempatan langka untuk berinteraksi langsung dengan gajah-gajah jinak. Aktivitas yang tersedia termasuk memandikan gajah di sungai alami, memberi makan, dan mengamati perilaku sehari-hari mereka, semua dilakukan di bawah pengawasan mahot yang berpengalaman.

Pada 2021 jumlah gajah di Tangkahan dilaporkan sekitar 10 ekor (tujuh dewasa, tiga anak/anakan). Gajah-gajah ini dikelola untuk ekowisata dan patroli hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Gajah kalimantan kerap disebut sebagai gajah kerdil atau gajah mini karena ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan gajah pada umumnya. Meskipun bertubuh lebih mungil, gajah kalimantan memiliki peran ekologi yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan hutan tropis di kawasan tersebut.

Salah satu karakteristik unik dari gajah Kalimantan adalah kebiasaan migrasinya. Hewan ini sering berpindah-pindah melewati hutan dan sungai, bahkan melintasi perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Kawanan gajah dapat ditemukan di sepanjang aliran Sungai Sebuku, Sungai Apan, dan Sungai Tampilon, di mana mereka mencari pakan, minum, dan berinteraksi dengan anggota kelompoknya.

Dikutip dari infoKalimantan, populasi gajah mini di Kabupaten Nunukan diperkirakan hanya tinggal delapan hingga 13 ekor. Gajah-gajah yang ditemukan di Desa Naputi, Kecamatan Tuin Onsoy menghadapi ancaman serius akibat deforestasi, perkebunan sawit, dan potensi konflik lahan dengan manusia.

Beruntung masyarakat adat setempat masih melindungi gajahgajah itu sebagai bagian dari warisan budaya, bahkan menganggapnya sebagai hewan yang dikeramatkan. Alfred, perwakilan dari Gabungan Pemuda Pecinta Alam Kabupaten Nunukan (Gapetah Borneo) menjelaskan bahwa survei populasi dilakukan dengan memanfaatkan kamera jebak.

“Hasil temuan kemarin menunjukkan 8 sampai 13 individu. Kami identifikasi dari ciri-ciri fisik, seperti telinga robek, gading patah, atau jari yang kurang,” ujar Alfred.

Alfred mengungkapkan jumlah gajah-gajah itu karena perburuan gading.

Gajah mini di Nunukan memiliki daerah jelajah (home range) yang luas, bahkan melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia. Lebih tepatnya sampai ke Sabah.

“Mereka mondar-mandir, bisa ke Semanggaris atau Sabah. Ini seperti koridor lintas batas,” kata Alfred.

Di Tesso Nilo, gajah-gajah hidup sepenuhnya liar dan menempati habitat alami mereka tanpa interaksi rutin dengan manusia.

Wisatawan yang ingin menyaksikan kehidupan gajah liar, Tesso Nilo menawarkan pengalaman unik melalui jalur-jalur yang biasa dilalui kawanan gajah. Keberadaan gajah liar di Tesso Nilo menjadi indikator penting kesehatan ekosistem hutan tropis dataran rendah Riau.

Upaya konservasi di kawasan ini tidak hanya melindungi populasi gajah, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati yang luas, termasuk berbagai spesies mamalia, burung, reptil, dan flora endemik.

Kini, gajah di TN Tesso Nilo diperkirakan tersisa 150 ekor. Mereka juga kerap diganggu illegal logging dan pembukaan perkebunan sawit liar.

Jumlah gajah binaan yang diperiksa pada September 2021 di PLG Minas dlaporkan ada 17 ekor, yang terdiri dari gajah dewasa dan anak gajah seperti si imut Rizky, yang sehat dan rutin menjalani pemeriksaan kesehatan untuk konservasi.

Di sini, gajah-gajah yang berada di pusat latihan dibina agar mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, sekaligus mencegah mereka memasuki pemukiman penduduk yang berpotensi menimbulkan konflik.

Sebagian besar gajah di Minas sudah terlatih dan terbiasa menjalani kegiatan sehari-hari bersama mahotnya. PLG Minas tidak hanya berfungsi sebagai tempat latihan dan konservasi, tetapi juga sebagai pusat edukasi bagi masyarakat dan wisatawan.

Wisatawan yang datang memiliki kesempatan unik untuk berinteraksi langsung dengan gajah-gajah di sana, mulai dari memberi makan, memandikan di sungai, hingga menunggangi mereka di area yang telah disiapkan secara aman. Setiap aktivitas dilakukan dengan bimbingan pawang berpengalaman, sehingga interaksi tetap aman bagi satwa maupun wisatawan.

Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.

PLG Minas mempunyai luas sekitar 450 hektar (ha). LPG ini berada di wilayah ring 1 kegiatan eksploitasi produksi minyak di blok Rokan.

Gajah di sana sudah sangat akrab dengan fasilitas produksi minyak. Banyak sumur blok Rokan memang berada di wilayah konservasi.

Melansir situs Badan Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, PLG Sebanga didirikan pertama kali pada Oktober 1998. PLG Sebanga dibangun untuk penanganan konflik gajah dan manusia di Riau yang semakin masif.

PLG Sebangga dibutuhkan sebagai area aman bagi gajah liar agar mereka memiliki ruang hidup yang cukup, sehingga warga mengetahui batasan pengusiran terhadap gajah.

NT
Sayangnya rumah gajah makin sempit. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 1992, PLG Sebangga mencakup area sekitar 5.700-5.873 hektar yang diperuntukkan sebagai habitat dan kawasan latihan bagi gajah sumatera.

Namun seiring waktu, sebagian besar lahan itu beralih fungsi menjadi kebun dan perkebunan, sehingga kini hanya tersisa sekitar 1-10% dari luas awal.

Alih fungsi lahan yang semakin luas di sekitar PLG Sebanga membuat kondisi kawasan semakin memprihatinkan. Fasilitas utama yang mendukung konservasi gajah seperti area latihan, sumber pakan alami, dan habitat asli perlahan kehilangan fungsinya dan tidak lagi dapat mendukung kegiatan konservasi secara optimal.

Tekanan ini menimbulkan tantangan serius bagi upaya menjaga kesejahteraan gajah dan keberlanjutan habitat mereka di kawasan tersebut.

Seiring dengan menyempitnya luas area jelajah gajah di Sebanga, jumlah gajah juga makin sedikit. Kini tersisa enam ekor gajah sumatera jinak (satu jantan, lima betina). Mereka adalah Sarma, Puja, Rosa, Dora, Sela, dan anak gajah Lela.

Kawasan ini telah lama menjadi pusat utama pelatihan dan perawatan gajah Sumatera sejak 1990-an, di bawah pengelolaan BKSDA Provinsi Aceh.

Selain berfungsi sebagai tempat latihan, PLG Saree juga menjadi rumah sementara bagi gajah-gajah yang diselamatkan dari konflik manusia-satwa.

PLG Saree kini berkembang menjadi destinasi wisata edukatif yang memberikan pengalaman unik untuk melihat gajah Sumatera dari dekat, tanpa melibatkan atraksi yang memaksa atau bersifat eksploitatif.

Konsep ekowisata edukatif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian gajah Sumatera, terutama di tengah tekanan kerusakan lahan dan hilangnya habitat alami.

TN Way Kambas membentang dari Kabupaten Lampung Timur hingga Kabupaten Lampung Tengah. TN Way Kambas memiliki luas 125.000 hingga 130.000 hektare (sekitar 1.300 km²).

Di sini menjadi rumah gajah sumatera dan hewan endemik lain, seperti harimau sumatera, badak sumatera, dan beruang madu. Jumlah gajah liar di kawasan ini diperkirakan sekitar 144-225 ekor.

Gajah-gajah di TN Way Kambas tidak sekadar dijaga, tetapi juga dididik dan dilatih secara khusus agar mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi alam serta lingkungan hutan yang berbeda-beda.

Latihan itu mencakup kegiatan sehari-hari yang penting untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka, mulai dari mengenal jalur hutan, berinteraksi dengan pawang, hingga latihan patroli yang membantu menjaga keamanan ekosistem.

Selain itu, pusat latihan gajah ini juga dirancang untuk memberikan pengalaman edukatif bagi wisatawan. Para wisatawan yang datang memiliki kesempatan unik untuk menunggang gajah di bawah pengawasan mahot, sambil menjelajahi hutan Way Kambas yang lebat dan masih terjaga.

Aktivitas ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perilaku gajah, pentingnya konservasi, dan bagaimana manusia bisa berinteraksi dengan satwa liar tanpa mengganggu kesejahteraan mereka.

Pusat Latihan Satwa Khusus atau (PLSK) Tangkahan adalah sebuah kawasan ekowisata yang terletak di Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu pusat penangkaran gajah sumatera. Di sini satwa gajah sumatera dirawat dan dilatih secara profesional.

Gajah di Tangkahan sempat terancam karena masifnya illegal logging atau penebangan liar. Manusia dan gajah juga konflik. Saat itu, gajah dianggap hama perusak kebun.

Kemudian, warga lokal menyadari jika situasi tersebut dibiarkan maka masa depan merekalah yang terancam. Warga lokal membuat Tangkahan sebagai pusat ekowisata konservasi gajah sumatera.

Masyarakat lokal menjadi penjaga hutan dan gajah. Di saat bersamaan warga mendapatkan pemasukan.

Tangkahan pun dianggap sebagai contoh sukses kolaborasi alam dan ekonomi melalui wisata berbasis komunitas.

Di kawasan ekowisata ini, wisatawan memiliki kesempatan langka untuk berinteraksi langsung dengan gajah-gajah jinak. Aktivitas yang tersedia termasuk memandikan gajah di sungai alami, memberi makan, dan mengamati perilaku sehari-hari mereka, semua dilakukan di bawah pengawasan mahot yang berpengalaman.

Pada 2021 jumlah gajah di Tangkahan dilaporkan sekitar 10 ekor (tujuh dewasa, tiga anak/anakan). Gajah-gajah ini dikelola untuk ekowisata dan patroli hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Dari Pulau Sumatera, kita beralih ke Kalimantan, tepatnya di wilayah Nunukan, Kalimantan Utara, yang menjadi salah satu habitat penting bagi gajah kalimantan (Pygmy elephant).

Gajah kalimantan kerap disebut sebagai gajah kerdil atau gajah mini karena ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan gajah pada umumnya. Meskipun bertubuh lebih mungil, gajah kalimantan memiliki peran ekologi yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan hutan tropis di kawasan tersebut.

Salah satu karakteristik unik dari gajah Kalimantan adalah kebiasaan migrasinya. Hewan ini sering berpindah-pindah melewati hutan dan sungai, bahkan melintasi perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Kawanan gajah dapat ditemukan di sepanjang aliran Sungai Sebuku, Sungai Apan, dan Sungai Tampilon, di mana mereka mencari pakan, minum, dan berinteraksi dengan anggota kelompoknya.

Dikutip dari infoKalimantan, populasi gajah mini di Kabupaten Nunukan diperkirakan hanya tinggal delapan hingga 13 ekor. Gajah-gajah yang ditemukan di Desa Naputi, Kecamatan Tuin Onsoy menghadapi ancaman serius akibat deforestasi, perkebunan sawit, dan potensi konflik lahan dengan manusia.

Beruntung masyarakat adat setempat masih melindungi gajahgajah itu sebagai bagian dari warisan budaya, bahkan menganggapnya sebagai hewan yang dikeramatkan. Alfred, perwakilan dari Gabungan Pemuda Pecinta Alam Kabupaten Nunukan (Gapetah Borneo) menjelaskan bahwa survei populasi dilakukan dengan memanfaatkan kamera jebak.

“Hasil temuan kemarin menunjukkan 8 sampai 13 individu. Kami identifikasi dari ciri-ciri fisik, seperti telinga robek, gading patah, atau jari yang kurang,” ujar Alfred.

Alfred mengungkapkan jumlah gajah-gajah itu karena perburuan gading.

Gajah mini di Nunukan memiliki daerah jelajah (home range) yang luas, bahkan melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia. Lebih tepatnya sampai ke Sabah.

“Mereka mondar-mandir, bisa ke Semanggaris atau Sabah. Ini seperti koridor lintas batas,” kata Alfred.

Taman Nasional Tesso Nilo, yang terletak di Provinsi Riau, menjadi rumah bagi gajah sumatera. Kawanan gajah di Tesso Nilo memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan gajah-gajah yang berada di pusat konservasi seperti Way Kambas atau Tangkahan.

Di Tesso Nilo, gajah-gajah hidup sepenuhnya liar dan menempati habitat alami mereka tanpa interaksi rutin dengan manusia.

Wisatawan yang ingin menyaksikan kehidupan gajah liar, Tesso Nilo menawarkan pengalaman unik melalui jalur-jalur yang biasa dilalui kawanan gajah. Keberadaan gajah liar di Tesso Nilo menjadi indikator penting kesehatan ekosistem hutan tropis dataran rendah Riau.

Upaya konservasi di kawasan ini tidak hanya melindungi populasi gajah, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati yang luas, termasuk berbagai spesies mamalia, burung, reptil, dan flora endemik.

Kini, gajah di TN Tesso Nilo diperkirakan tersisa 150 ekor. Mereka juga kerap diganggu illegal logging dan pembukaan perkebunan sawit liar.

PLG Minas terletak di Desa Minas Jaya, Kabupaten Siak, Riau. Kawasan ini menjadi salah satu pusat konservasi gajah sumatera yang dikelola secara resmi di bawah naungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau.

Jumlah gajah binaan yang diperiksa pada September 2021 di PLG Minas dlaporkan ada 17 ekor, yang terdiri dari gajah dewasa dan anak gajah seperti si imut Rizky, yang sehat dan rutin menjalani pemeriksaan kesehatan untuk konservasi.

Di sini, gajah-gajah yang berada di pusat latihan dibina agar mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, sekaligus mencegah mereka memasuki pemukiman penduduk yang berpotensi menimbulkan konflik.

Sebagian besar gajah di Minas sudah terlatih dan terbiasa menjalani kegiatan sehari-hari bersama mahotnya. PLG Minas tidak hanya berfungsi sebagai tempat latihan dan konservasi, tetapi juga sebagai pusat edukasi bagi masyarakat dan wisatawan.

Wisatawan yang datang memiliki kesempatan unik untuk berinteraksi langsung dengan gajah-gajah di sana, mulai dari memberi makan, memandikan di sungai, hingga menunggangi mereka di area yang telah disiapkan secara aman. Setiap aktivitas dilakukan dengan bimbingan pawang berpengalaman, sehingga interaksi tetap aman bagi satwa maupun wisatawan.

PLG Minas mempunyai luas sekitar 450 hektar (ha). LPG ini berada di wilayah ring 1 kegiatan eksploitasi produksi minyak di blok Rokan.

Gajah di sana sudah sangat akrab dengan fasilitas produksi minyak. Banyak sumur blok Rokan memang berada di wilayah konservasi.

Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga adalah kawasan konservasi penting yang menjadi habitat alami gajah sumatera di Riau. Terletak di Desa Muara Basung, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Melansir situs Badan Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, PLG Sebanga didirikan pertama kali pada Oktober 1998. PLG Sebanga dibangun untuk penanganan konflik gajah dan manusia di Riau yang semakin masif.

PLG Sebangga dibutuhkan sebagai area aman bagi gajah liar agar mereka memiliki ruang hidup yang cukup, sehingga warga mengetahui batasan pengusiran terhadap gajah.

NT
Sayangnya rumah gajah makin sempit. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 1992, PLG Sebangga mencakup area sekitar 5.700-5.873 hektar yang diperuntukkan sebagai habitat dan kawasan latihan bagi gajah sumatera.

Namun seiring waktu, sebagian besar lahan itu beralih fungsi menjadi kebun dan perkebunan, sehingga kini hanya tersisa sekitar 1-10% dari luas awal.

Alih fungsi lahan yang semakin luas di sekitar PLG Sebanga membuat kondisi kawasan semakin memprihatinkan. Fasilitas utama yang mendukung konservasi gajah seperti area latihan, sumber pakan alami, dan habitat asli perlahan kehilangan fungsinya dan tidak lagi dapat mendukung kegiatan konservasi secara optimal.

Tekanan ini menimbulkan tantangan serius bagi upaya menjaga kesejahteraan gajah dan keberlanjutan habitat mereka di kawasan tersebut.

Seiring dengan menyempitnya luas area jelajah gajah di Sebanga, jumlah gajah juga makin sedikit. Kini tersisa enam ekor gajah sumatera jinak (satu jantan, lima betina). Mereka adalah Sarma, Puja, Rosa, Dora, Sela, dan anak gajah Lela.

PLG Saree berada di Aceh Besar, Provinsi Aceh. Kawasan hutan lindung Saree seluas sekitar 6.300 hektare tersebut dikelola Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh.

Kawasan ini telah lama menjadi pusat utama pelatihan dan perawatan gajah Sumatera sejak 1990-an, di bawah pengelolaan BKSDA Provinsi Aceh.

Selain berfungsi sebagai tempat latihan, PLG Saree juga menjadi rumah sementara bagi gajah-gajah yang diselamatkan dari konflik manusia-satwa.

PLG Saree kini berkembang menjadi destinasi wisata edukatif yang memberikan pengalaman unik untuk melihat gajah Sumatera dari dekat, tanpa melibatkan atraksi yang memaksa atau bersifat eksploitatif.

Konsep ekowisata edukatif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian gajah Sumatera, terutama di tengah tekanan kerusakan lahan dan hilangnya habitat alami.

1. Taman Nasional Way Kambas, Lampung

2. Tangkahan, Sumatera Utara

3. Nunukan, Kalimantan Utara

4. Taman Nasional Tesso Nilo, Riau

5. Pusat Latihan Gajah Minas, Riau

6. Pusat Latihan Gajah Sebanga, Riau

7. Pusat Latihan Gajah Saree, Aceh







TN Way Kambas membentang dari Kabupaten Lampung Timur hingga Kabupaten Lampung Tengah. TN Way Kambas memiliki luas 125.000 hingga 130.000 hektare (sekitar 1.300 km²).

Di sini menjadi rumah gajah sumatera dan hewan endemik lain, seperti harimau sumatera, badak sumatera, dan beruang madu. Jumlah gajah liar di kawasan ini diperkirakan sekitar 144-225 ekor.

Gajah-gajah di TN Way Kambas tidak sekadar dijaga, tetapi juga dididik dan dilatih secara khusus agar mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi alam serta lingkungan hutan yang berbeda-beda.

Latihan itu mencakup kegiatan sehari-hari yang penting untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka, mulai dari mengenal jalur hutan, berinteraksi dengan pawang, hingga latihan patroli yang membantu menjaga keamanan ekosistem.

Selain itu, pusat latihan gajah ini juga dirancang untuk memberikan pengalaman edukatif bagi wisatawan. Para wisatawan yang datang memiliki kesempatan unik untuk menunggang gajah di bawah pengawasan mahot, sambil menjelajahi hutan Way Kambas yang lebat dan masih terjaga.

Aktivitas ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perilaku gajah, pentingnya konservasi, dan bagaimana manusia bisa berinteraksi dengan satwa liar tanpa mengganggu kesejahteraan mereka.

1. Taman Nasional Way Kambas, Lampung

Gajah di Tangkahan sempat terancam karena masifnya illegal logging atau penebangan liar. Manusia dan gajah juga konflik. Saat itu, gajah dianggap hama perusak kebun.

Kemudian, warga lokal menyadari jika situasi tersebut dibiarkan maka masa depan merekalah yang terancam. Warga lokal membuat Tangkahan sebagai pusat ekowisata konservasi gajah sumatera.

Masyarakat lokal menjadi penjaga hutan dan gajah. Di saat bersamaan warga mendapatkan pemasukan.

Tangkahan pun dianggap sebagai contoh sukses kolaborasi alam dan ekonomi melalui wisata berbasis komunitas.

Di kawasan ekowisata ini, wisatawan memiliki kesempatan langka untuk berinteraksi langsung dengan gajah-gajah jinak. Aktivitas yang tersedia termasuk memandikan gajah di sungai alami, memberi makan, dan mengamati perilaku sehari-hari mereka, semua dilakukan di bawah pengawasan mahot yang berpengalaman.

Pada 2021 jumlah gajah di Tangkahan dilaporkan sekitar 10 ekor (tujuh dewasa, tiga anak/anakan). Gajah-gajah ini dikelola untuk ekowisata dan patroli hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

2. Tangkahan, Sumatera Utara

Gajah kalimantan kerap disebut sebagai gajah kerdil atau gajah mini karena ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan gajah pada umumnya. Meskipun bertubuh lebih mungil, gajah kalimantan memiliki peran ekologi yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan hutan tropis di kawasan tersebut.

Salah satu karakteristik unik dari gajah Kalimantan adalah kebiasaan migrasinya. Hewan ini sering berpindah-pindah melewati hutan dan sungai, bahkan melintasi perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Kawanan gajah dapat ditemukan di sepanjang aliran Sungai Sebuku, Sungai Apan, dan Sungai Tampilon, di mana mereka mencari pakan, minum, dan berinteraksi dengan anggota kelompoknya.

Dikutip dari infoKalimantan, populasi gajah mini di Kabupaten Nunukan diperkirakan hanya tinggal delapan hingga 13 ekor. Gajah-gajah yang ditemukan di Desa Naputi, Kecamatan Tuin Onsoy menghadapi ancaman serius akibat deforestasi, perkebunan sawit, dan potensi konflik lahan dengan manusia.

Beruntung masyarakat adat setempat masih melindungi gajahgajah itu sebagai bagian dari warisan budaya, bahkan menganggapnya sebagai hewan yang dikeramatkan. Alfred, perwakilan dari Gabungan Pemuda Pecinta Alam Kabupaten Nunukan (Gapetah Borneo) menjelaskan bahwa survei populasi dilakukan dengan memanfaatkan kamera jebak.

“Hasil temuan kemarin menunjukkan 8 sampai 13 individu. Kami identifikasi dari ciri-ciri fisik, seperti telinga robek, gading patah, atau jari yang kurang,” ujar Alfred.

Alfred mengungkapkan jumlah gajah-gajah itu karena perburuan gading.

Gajah mini di Nunukan memiliki daerah jelajah (home range) yang luas, bahkan melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia. Lebih tepatnya sampai ke Sabah.

“Mereka mondar-mandir, bisa ke Semanggaris atau Sabah. Ini seperti koridor lintas batas,” kata Alfred.

3. Nunukan, Kalimantan Utara

Di Tesso Nilo, gajah-gajah hidup sepenuhnya liar dan menempati habitat alami mereka tanpa interaksi rutin dengan manusia.

Wisatawan yang ingin menyaksikan kehidupan gajah liar, Tesso Nilo menawarkan pengalaman unik melalui jalur-jalur yang biasa dilalui kawanan gajah. Keberadaan gajah liar di Tesso Nilo menjadi indikator penting kesehatan ekosistem hutan tropis dataran rendah Riau.

Upaya konservasi di kawasan ini tidak hanya melindungi populasi gajah, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati yang luas, termasuk berbagai spesies mamalia, burung, reptil, dan flora endemik.

Kini, gajah di TN Tesso Nilo diperkirakan tersisa 150 ekor. Mereka juga kerap diganggu illegal logging dan pembukaan perkebunan sawit liar.

4. Taman Nasional Tesso Nilo, Riau

Jumlah gajah binaan yang diperiksa pada September 2021 di PLG Minas dlaporkan ada 17 ekor, yang terdiri dari gajah dewasa dan anak gajah seperti si imut Rizky, yang sehat dan rutin menjalani pemeriksaan kesehatan untuk konservasi.

Di sini, gajah-gajah yang berada di pusat latihan dibina agar mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, sekaligus mencegah mereka memasuki pemukiman penduduk yang berpotensi menimbulkan konflik.

Sebagian besar gajah di Minas sudah terlatih dan terbiasa menjalani kegiatan sehari-hari bersama mahotnya. PLG Minas tidak hanya berfungsi sebagai tempat latihan dan konservasi, tetapi juga sebagai pusat edukasi bagi masyarakat dan wisatawan.

Wisatawan yang datang memiliki kesempatan unik untuk berinteraksi langsung dengan gajah-gajah di sana, mulai dari memberi makan, memandikan di sungai, hingga menunggangi mereka di area yang telah disiapkan secara aman. Setiap aktivitas dilakukan dengan bimbingan pawang berpengalaman, sehingga interaksi tetap aman bagi satwa maupun wisatawan.

PLG Minas mempunyai luas sekitar 450 hektar (ha). LPG ini berada di wilayah ring 1 kegiatan eksploitasi produksi minyak di blok Rokan.

Gajah di sana sudah sangat akrab dengan fasilitas produksi minyak. Banyak sumur blok Rokan memang berada di wilayah konservasi.

5. Pusat Latihan Gajah Minas, Riau

Melansir situs Badan Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, PLG Sebanga didirikan pertama kali pada Oktober 1998. PLG Sebanga dibangun untuk penanganan konflik gajah dan manusia di Riau yang semakin masif.

PLG Sebangga dibutuhkan sebagai area aman bagi gajah liar agar mereka memiliki ruang hidup yang cukup, sehingga warga mengetahui batasan pengusiran terhadap gajah.

NT
Sayangnya rumah gajah makin sempit. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 1992, PLG Sebangga mencakup area sekitar 5.700-5.873 hektar yang diperuntukkan sebagai habitat dan kawasan latihan bagi gajah sumatera.

Namun seiring waktu, sebagian besar lahan itu beralih fungsi menjadi kebun dan perkebunan, sehingga kini hanya tersisa sekitar 1-10% dari luas awal.

Alih fungsi lahan yang semakin luas di sekitar PLG Sebanga membuat kondisi kawasan semakin memprihatinkan. Fasilitas utama yang mendukung konservasi gajah seperti area latihan, sumber pakan alami, dan habitat asli perlahan kehilangan fungsinya dan tidak lagi dapat mendukung kegiatan konservasi secara optimal.

Tekanan ini menimbulkan tantangan serius bagi upaya menjaga kesejahteraan gajah dan keberlanjutan habitat mereka di kawasan tersebut.

Seiring dengan menyempitnya luas area jelajah gajah di Sebanga, jumlah gajah juga makin sedikit. Kini tersisa enam ekor gajah sumatera jinak (satu jantan, lima betina). Mereka adalah Sarma, Puja, Rosa, Dora, Sela, dan anak gajah Lela.

6. Pusat Latihan Gajah Sebanga, Riau

Kawasan ini telah lama menjadi pusat utama pelatihan dan perawatan gajah Sumatera sejak 1990-an, di bawah pengelolaan BKSDA Provinsi Aceh.

Selain berfungsi sebagai tempat latihan, PLG Saree juga menjadi rumah sementara bagi gajah-gajah yang diselamatkan dari konflik manusia-satwa.

PLG Saree kini berkembang menjadi destinasi wisata edukatif yang memberikan pengalaman unik untuk melihat gajah Sumatera dari dekat, tanpa melibatkan atraksi yang memaksa atau bersifat eksploitatif.

Konsep ekowisata edukatif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian gajah Sumatera, terutama di tengah tekanan kerusakan lahan dan hilangnya habitat alami.

7. Pusat Latihan Gajah Saree, Aceh