Duo Orangutan, Artemis dan Gieke Akhirnya ‘Pulang ke Kampung Halaman’ baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Duo orangutan bernama Artemis dan Gieke, akhirnya berhasil ‘pulang’ ke kampung halamannya di Kalimantan, tepatnya di Taman Nasional Betung Kerihun.

Kementerian Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat dan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (BBTNBKDS) serta didukung Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang (YPOS) kembali melepasliarkan dua orangutan (Pongo pygmaeus) hasil rehabilitasi di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun.

Kedua orangutan itu dilepaskan tepat di wilayah Blok Sungai Rongun, Sub Das Mendalam, wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah III Padua Mendalam, pada Rabu (19/11).

Dua orangutan itu lahir di Sekolah Hutan Jerora YPOS Sintang, bukan di tengah hutan rimba, berhasil dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Mereka diberi nama Artemis dan Gieke.

Artemis adalah orangutan betina berusia enam tahun empat bulan yang lahir pada 1 April 2019. Sedangkan Gieke adalah orangutan betina berusia enam tahun sepuluh bulan yang lahir pada 11 Oktober 2018.

Kedua orangutan itu berhasil menunjukkan kemampuan menjelajah, mengenali pakan alami dan membuat sarang dengan baik selama mengikuti sekolah hutan. Kedua individu orangutan juga tidak menunjukkan ketergantungan pada manusia sehingga dinilai siap untuk dilepasliarkan.

Perjalanan menuju lokasi pelepasliaran orangutan itu ditempuh melalui delapan jam perjalanan darat dari Sekolah Hutan Jerora di Sintang menuju Putussibau. Perjalanan dilanjutkan tiga jam perjalanan air menggunakan longboat menuju Stasiun Pelepasliaran Mentibat.

Setibanya di lokasi, keduanya menjalani habituasi satu malam untuk menjaga kondisi fisik dan psikologis tetap stabil, dengan pemeriksaan medis rutin selama proses berlangsung. Hari berikutnya, keduanya baru dibawa dengan longboat selama 1 jam perjalanan menuju Sungai Rongun di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun.

Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane menegaskan pelepasliaran orangutan Artemis dan Gieke merupakan bagian dari upaya berkelanjutan pemerintah dalam melestarikan orangutan Kalimantan yang berstatus Kritis (Critically Endangered) menurut IUCN.

“Pelepasliaran ini merupakan langkah strategis dalam maemulihkan populasi orangutan di habitat alaminya. Kolaborasi lintas lembaga dan dukungan masyarakat menjadi pondasi utama dalam menjaga keberlanjutan ekosistem hutan Kalimantan,” ujar Murlan dalam keterangan persnya, dikutip Jumat (21/11/2025).

Kegiatan pelepasliaran ini juga disambut antusias oleh masyarakat setempat, terutama kader konservasi yang terlibat langsung. Keterlibatan mereka tidak hanya bersifat teknis, namun juga emosional, karena melihat orangutan kembali ke hutan dianggap sebagai simbol keberhasilan perjuangan panjang dalam menjaga kelestarian hutan.

Brigita, mahasiswa magang asal FAHUTAN UNTAN menyatakan bangga bisa menjadi bagian dari proses pelepasliaran orangutan kembali ke alam.

“Melihat orangutan kembali ke habitatnya memberikan rasa haru dan kebanggaan tersendiri bagi kami. Ini menjadi pengingat bahwa perjuangan konservasi bukan hanya pekerjaan, tetapi panggilan untuk menjaga masa depan alam kami,” ujar Brigita.

Kegiatan pelepasliaran ini merupakan tahapan ke-17 sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2017, dengan total 37 individu hasil rehabilitasi dan satu individu hasil translokasi yang telah dilepasliarkan di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Setelah pelepasliaran, orangutan Artemis dan Gieke akan dipantau secara intensif menggunakan metode nest-to-nest selama tiga bulan, meliputi pemantauan aktivitas harian, pola makan, pergerakan serta respons terhadap habitat. Pemantauan dilakukan untuk memastikan keduanya mampu beradaptasi dengan baik dan hidup mandiri di alam liar.

Kepala Balai Besar TNBKDS, Sadtata Noor Adirahmanta, mengatakan jajarannya akan mendukung kegiatan pemantauan pasca-pelepasliaran, serta peningkatan peran masyarakat sekitar sebagai penjaga garis depan konservasi.

“Tanpa keterlibatan aktif masyarakat, mustahil konservasi dapat berjalan berkelanjutan. Kami berharap keberhasilan ini menjadi inspirasi untuk terus menjaga hutan Kalimantan bagi generasi mendatang,” tegas dia.