Masjid Lautze merupakan salah satu masjid unik di Jakarta dengan sejarah panjang dalam perjalanan dakwah Islam di komunitas Tionghoa. Masjid itu juga khas dengan arsitektur Tionghoa.
Nama “Lautze” berasal dari bahasa Mandarin yang berarti “guru” atau “suku”, sekaligus menjadi nama jalan tempat masjid ini berdiri. Masjid ini pertama kali didirikan pada 1991 oleh Yayasan Haji Karim Oei, sebuah organisasi yang dibentuk oleh tokoh mualaf keturunan Tionghoa, Haji Abdul Karim Oei. Dia seorang pengusaha asal Sumatera Barat.
Pada awal berdiri, organisasi tersebut bernama Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang kemudian menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Masjid Lautze memiliki peran besar sebagai ruang pembinaan bagi masyarakat Tionghoa yang tertarik mempelajari Islam.
Jam operasional masjid pun disesuaikan dengan aktivitas kawasan perkantoran di sekitarnya, sehingga pada hari kerja masjid biasanya hanya dibuka untuk shalat Zuhur dan Asar. Namun, masjid akan buka lebih lama ketika ada kegiatan khusus seperti pengajian, peringatan Maulid, atau kegiatan selama bulan Ramadhan.
“Bedanya masjid ini dengan masjid lainnya itu terletak di ornamennya yang menyerupai klenteng dan hanya buka di hari kerja dan jam kerja, karena menyesuaikan dengan area sekitarnya yaitu perkantoran,” kata Yulia, guide tour dari Wisata Kreatif Jakarta, kepada infoTravel akhir waktu lalu.
Awalnya, Masjid Lautze hanya menempati satu unit ruko sederhana. Namun, seiring meningkatnya minat masyarakat, khususnya dari kalangan Tionghoa yang ingin memeluk Islam, ruang masjid menjadi semakin tidak mencukupi. Banyak mualaf yang mengucapkan syahadat di masjid ini, termasuk tokoh publik seperti Yusuf Hamka dan putrinya.
Kondisi itu menunjukkan kuatnya peran masjid sebagai pusat syiar Islam yang ramah dan terbuka bagi siapa pun yang ingin mengenal Islam lebih dekat. Suasana masjid ini memiliki keunikan tersendiri.
Begitu memasuki area masjid, pengunjung akan disambut dengan tulisan dan ornamen dalam tiga bahasa, yaitu Mandarin, Arab, dan Melayu. Penanda dan dekorasi tersebut menunjukkan perpaduan budaya yang khas.
Karena berfungsi sebagai tempat pembinaan muallaf Tionghoa, desain masjid pun sengaja dibuat menyerupai bangunan klenteng agar terasa familiar dan tidak menimbulkan rasa canggung bagi para pengunjung baru.
Ornamen-ornamen khas Tionghoa seperti lampion dan warna merah kuning yang mencolok tampak menghiasi bagian luar hingga ke area dalam masjid, termasuk di area tempat wudu dan kamar mandi.
Pendekatan itu sengaja dipilih sebagai bentuk akulturasi yang dapat menghilangkan hambatan psikologis bagi masyarakat Tionghoa yang ingin masuk ke lingkungan masjid. Dengan demikian, syiar Islam dapat tersampaikan secara lebih halus dan inklusif. Pada tahun 1994, ruko kedua yang berada di sebelah bangunan awal resmi dibuka untuk memperluas kapasitas masjid.
Peresmian ini dilakukan oleh B.J. Habibie ketika beliau menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Perluasan ini terjadi karena semakin banyak kegiatan pembinaan yang dilakukan, dan kebutuhan ruang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masjid Lautze memiliki ciri khas lain, yaitu proses penyambutan para calon mualaf.
Sebelum mengucapkan syahadat, calon mualaf diwajibkan untuk melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pengurus masjid. Hal ini dilakukan agar pengurus dapat mempersiapkan pendampingan dan memastikan proses berlangsung dengan baik. Masjid Lautze memang dikenal sebagai tempat yang nyaman bagi masyarakat Tionghoa yang ingin menjadi muslim atau ingin mengenal Islam lebih jauh.
Pada masa awal pendiriannya, ruko yang digunakan sebagai masjid masih berstatus sewa. Pemilik bangunan kemudian menawarkan penjualan ruko tersebut kepada pengurus masjid. Karena saat itu pengurus belum memiliki dana yang cukup, maka dicarilah donatur.
Bantuan akhirnya datang melalui B.J. Habibie dan dihibahkan atas nama Yayasan Haji Karim Ceng Hin. Nama ini digunakan sebagai penghormatan kepada Haji Karim Ceng Hin, seorang konglomerat keturunan Tionghoa dan sahabat Bung Karno yang juga mualaf. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh sukses pada masanya dan meninggal dunia pada tahun 1988.
“Masjid ini awalnya menempati ruko sewa, coba bayangkan statusnya masjid tapi sewa, kalau penyawanya nggak memperpanjang tamat riwayatnya ini masjid,” kata Yusma, humas Masjid Lautze kemudian tertawa kepada infoTravel.
“Akhirnya pemilik ruko menawarkan kepada pengurus masjid untuk dibeli saja bangunan rukonya, tapi pas itu pengurus kan belum punya dana. Akhirnya pengurus mulai mencari donatur dan dapatlah donatur dari BJ. Habibie,” kata Yumas lagi.
Masjid Lautze juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya. Kehadiran berbagai organisasi ini mencerminkan tujuan utama masjid, yaitu menyebarkan pengetahuan tentang Islam secara luas kepada masyarakat Tionghoa.
Nama yayasan yang mengelola masjid pun menggabungkan unsur Islam dan Tionghoa, sebagai simbol persatuan dua identitas budaya. Tidak hanya itu, bangunan ruko berikutnya juga dibeli dan diwakafkan oleh Bapak Bambang, seorang dermawan asal Jawa, sehingga semakin memperkuat keberlangsungan kegiatan dakwah di masjid ini.
